Sejak
ditinggal pergi oleh Anies Baswedan dan berpaling ke Muhaimin Iskandar, maka Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) bersama Demokrat memilih hengkang dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP). Itulah konsekuensi dari permainan.Belum lagi obrolan soal skenario hingga ’konspirasi’ politik segala macam bakal terjawab saat diiringi dengan ‘permainan’. Sementara, “jadian” atau “bubar jalan” sebetulnya sudah tuntas jawabanya sebelum “lamaran” atau nankring di koalisi.
Sekadar saran. Totalitas perlu dimiliki oleh setiap petarung. Jika bakal calon presiden dan wakil presiden (Bacapres, Bacawpres) tidak punya totalitas atau "setengah hati," maka alangkah eloknya, dari saat ini mundur ke belakang secara teratur sebelum bertarung.
Begitu pula, Demokrat-AHY harus "siap" (nyontek gaya militer, he he) hidup sebatang kara. Sepasang kekasih juga demikian. "Si doi" rela melepaskan "kekasih asmaranya."
Namanya juga permainan. Ia tidak dibawa ke isi dompet. Eh, salah, tidak nelangsa maksudnya.
Kita sadar, setiap Bacapres dan Bacawapres justeru lebih tampil beken jika melayani "tes ombak." Kendati, AHY terbilang "petarung muda," dia akan menambah "biodata baru" saat "disalip" dan "ditelikung" secara politis tak terkira. Tanpa disadari, biodata baru AHY menjadi sebangsa "permainan tanda kenikmatan" politik tersendiri.
Secara psiko-politik, senyum AHY usai ditinggalkan oleh Anies tidak lebih dari senyum yang hambar. Gampangnya, jika bukan AHY meninggalkan, dia akan ditinggalkan oleh "pasangan romantiknya." Omaigad! Begitu melonya episode drama politik ini. Nehi, nehi, nehi! AHY-Demokrat akan hidup sebatang kara untuk "sementara."
Bukankah dunia tidak selebar daun kelor? Kata siapa? Sekali lagi, tidak ada yang tidak mungkin dalam dunia politik. Oke!
Yang namanya gonta-ganti pasangan "kekasih" persis sama tidak mengenal kosa kata lamaran "diterima" atau "ditolak" dalam dunia politik. Karena itu, ada yang dibawa santai, lentur bahkan menikmati permainan jadian atau gagal sebelum menuju ke "pelaminan" calon presiden dan wakil presiden. Saya kira, itu saja sudah cukup kelabakan menghadapi zig zag, memutar dari samping, belakang ke depan. Tidak ada dalam kamus politik berupa "merpati tidak pernah ingkar janji." Semuanya ada di kepala kita. Semuanya ingin menang dalam permainan politik. Jika baperan, misalnya, saya kira itu salah alamat.
Kita sudah tahu, politik itu seni. Politik dengan tingkat rasionalitas tertentu. "Panas," riuh rendah suhu politik karena rasionalitas politik dimainkan layaknya politik yang "diseksualkan." Isu, manuver sampai konspirasi politik begitu merangsang.
Dalam seni politik yang "dierotiskan," tidak jarang kekuatan dan energi lawan digunakan untuk mematahkan dirinya sendiri. Politisi tidak saling berhadap-hadapan. Cukup dimainkan dengan kekuatan politik yang menyalip di tikungan tajam.