Lihat ke Halaman Asli

Ermansyah R. Hindi

Free Writer, ASN

Politik Teriakan di Ruang Kosong

Diperbarui: 26 Juli 2023   20:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Capres Anies Baswean di satu kesempatan (Sumber gambar: kompas.tv)

Politik bibir, ya teriakan itu. Para pendukungnya berteriak pada bakal calon presiden. Teriakan pendukung dan bahayanya jika sebatas suara di tenggorokan.

Teriakan pendukung sebagai tanda ekspresi gembira. Teriakan bisa ambrol jika para pendukung kandidat hanya puas di saat itu. Padahal tahapan pemilu masih jauh. Hari nyoblos sisa kurang lebih dua ratus hari lagi. Suara dukungan masih bisa berubah-ubah. Siapa yang tahu suara batin dari pendukung ketika berteriak. "Presiden, presiden!" Eforia politik secara berlebihan akan membutakan pilihan seseorang pada kandidat. Lagi pula, jika dipikir-pikir teriakan tersebut tidak menjamin bacapres 'terpilih' di hari nyoblos. Pendukung dengan pilihan bacapres mungkin berada di persimpangan jalan. Ini atau itu?

Kader partai politik dan pendukung lainnya hadir sambil menanti bacapres memang tidak keliru. Tetapi, suara lantang jangan dikira sebagai satu-satunya cara mendukung bacapres.

Teriakan "presiden, presiden!" Itu terdengar pekikan pendukung sekaligus nampak di atas permukaan. Dukungan mestinya mengalir di bawah permukaan. Kejutan! Haruskah? Dukungan ada atau tanpa teriakan "presiden, presiden" enggak relevan amat. Saya kira, tim masing-masing bacapres perlu kerja senyap. Menggalang suara dukungan terjadi di balik teriakan pendukung.

Kerja senyap dari tim sukses yang saya maksud bukan seperti mengendap-endap di malam suntuk. Tidak ada bunyi jengkrik, sepatu, sendal, pentungan atau kendaraan, dan lainnya berbeda dengan kerja senyap. Kerja senyap bukan diam membisu. Itu terdengar lucu. Saya juga tidak mengatakan jika kerja senyap sebagai syarat tunggal dan mutlak bagi kemenangan kandidat.

Bagi konsultan politik tahu persis apa yang mesti dilakukan oleh tim sukses. Soal ada atau tidak ada teriakan "presiden, presiden" tidak dicampuri oleh konsultan politik. Hemat saya, kerja senyap adalah kerja sistemik. Kerja senyap sebagai langkah strategis dengan rencana yang matang dan terukur.

Teriakan pendukung tinggal teriakan. Saya tidak mengatakan teriakan "presiden, presiden" sebagai sesuatu yang absurd dan sia-sia. Diketahui segmentasi pemilih juga beragam. Segmentasi pemilih yang berbeda berdasarkan latar belakang sosio-ekonomi, keyakinan, gender, kelompok usia, dan seterusnya menjadi bahan kerja senyap. Nah, dari bahan kerja senyap tersebut sebagai 'ruang kosong' bagi teriakan pendukung. Daripada urus sesuatu yang 'tidak berpengaruh besar', mending olah suara dukungan.

Gelombang suara dukungan tanpa akhir itulah yang menjadi tanda-tanda awal kekuatan bacapres. Lengkingan suara. Bacapres diteriaki "presiden, presiden" sebagai teriakan yang membahana. Teriakan "presiden, presiden" begitu ramai di atas permukaan. Tetapi, suara dukungan rapuh di bagian dalam. Teriakan "presiden, presiden" terasa keropos di bawah permukaan kegiatan bacapres.

Jika pendukung ditanya. Hadir di pertemuan bacapres anu kemarin? Betul, sahutnya. Betul apa tul pilihan mas si anu? Si pendukung nampak terdiam.

***

"Anies presiden, presiden!" "Ganjar presiden, presiden!"  Ganjar atau Anies diteriaki presiden oleh pendukungnya di sekian momen. Teriakan demi teriakan menjadi politik bibir. "Prabowo, presiden, presiden!" Teriakan itu keluar dari bibir. Teriakan "hidup presiden, presiden!" Para pendukung mereka bisa sedikit "hidup" karena "hidup presiden, presiden!" Teriakan di suatu ruangan yang telah ditentukan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline