Lihat ke Halaman Asli

Ermansyah R. Hindi

Free Writer, ASN

Kuasa sebagai Hasrat, Hasrat sebagai Kuasa

Diperbarui: 13 Juli 2023   20:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Capres Anies, Parbowo, Ganjar (Sumber gambar: detik.com)

Suatu hari, isteriku ngobrol sejenak soal rapor biru merah petahana selama dua periode. Calon kepala daerah yang akan maju di kontestasi Pilkada sebanyak tiga pasangan. Singkat cerita, anak dari petahana akhirnya telan "pil pahit" karena kalah dalam kontestasi Pilkada. 

Yang terpilih sebagai kepala daerah dari mantan pejabat teras di bidang administrasi pemerintahan daerah.  Coba lihat kinerja kepala daerah yang terpilih dalam setahun. Maksudnya bunda. Panggilku pada ibunya anak-anak. 

Kita bisa cela rezim lama. Tetapi, belum ada jaminan rezim baru akan lebih baik dari rezim sebelumnya.

Kategori 'lebih baik' tentu yang dimaksud akan terjadi perubahan. Kata perubahan dieluk-elukan oleh para pendukungnya. Seperti tagline sebelum dan saat tahapan kampanye. "Hidup perubahan!" Kita belum tahu apa yang terjadi esok. Belum ada kesempatan di tampuk kuasa. Ya, politik kuasa daerah. 

Dulu rezim dicela, nanti kita lihat kesempatan diberi pada kepala daerah yang terpilih. Hanya soal "kesempatan." Begitu cara berpikir isteriku. Aji mumpung jadi jurus efektif dalam kuasa.

Obrolan itu saya ingat kembali. Merah biru nilai kinerja pemerintahan cukup dipengaruhi oleh aji mumpung alias kesempatan untuk berkuasa. Jika kesempatan hanya sekadar "nama" akan kelihatan juga bagaimana hasilnya. Jika kesempatan untuk berkuasa lewat kursi kepala daerah hanya di ujung jari telunjuk. Saat berkuasa sebagai kepala daerah hanya kesempatan untuk mengeruk keuntungan. 

Apalagi dalam perjalanan kuasanya terjadi kasus korupsi dan dugaan jual beli jabatan, maka nampak ada yang tidak beres. Kesempatan ada untuk berkuasa, yang jauh lebih maju atau lebih parah dari sebelumnya.

Praktik kuasa yang enak tenang tidak lari kemana-mana. Ia melekat pada aji mumpung, kesempatan untuk berkuasa. Kita tidak lupa tentang apa yang mendorong kuasa direbut. 

Mengapa sekali periode jadi kepala daerah hingga presiden tidak cukup? Khusus di negeri kita, di samping gengsi dan nama tenar yang diburu, ada hasrat yang mendorong untuk berkuasa.

Kita masih ingat skandal politik kuasa Ratu Atut Chosiyah dan Wawan ribut diperbincangkan saat jelang akhir 2013. Paling menyolok adalah praktik politik dinasti justeru menjatuhkan marwah kuasa Ratu Atut sebagai Gubernur Banten (2007-2015). Kuasa yang menggoda. Kuasa "menyihir" bagi yang memuja dan pihak terpikat padanya.

Ramainya ide dan wacana penundaan Pemilu 2024 dan perpanjangan masa jabatan presiden sarat dengan kepentingan politik kuasa. Pemilu ditunda dan jabatan presiden diperpanjang menandakan hasrat dan kebutuhan saling menetralisir. Hasrat dan kebutuhan terhadap pemilu ditunda dan masa jabatan presiden berada dalam pusaran relasi kuasa. Aliran hasrat lebih kuat daripada kebutuhan dibalik ide dan wacana kuasa. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline