Terima kasih
pak Gufron! Dia tidak sedang bercanda. Ayah dari Ista'anul Jannati telah menaruh simpati luar biasa.Ayah dari gadis 19 tahun itu membuktikan ada jeritan mengiringi uluran tangan tulus di tengah "moralitas" begundal.
Istilah itu lahir di abad ke-19. Ayah Ista'anul Jannati hidup di abad ke-21. Gemanya melampaui zaman.
Istilah itu begitu mirip sosok dari sang empunya "Palu Berbicara" atau "Moralitas Tuan," "Moralitas Budak" hingga "sang Penggali Tuhan telah Mati." Siapa gerangan? Nietzsche.
Genealogy of Moral Nietzsche memang bukan pujian pada siapa. Ia juga bukan cibiran pada sang penambal jalan. Ayah, Gufron adalah ayah di atas punggung para pembesar negeri.
Apa itu moralitas? Sang penambal jalan hanya tersenyum bahagia "sejati." Amalnya mengakhiri moralitas.
Kita, saya, dan Anda mungkin tidak menyaksikan sang penambal jalan, Gufron pelintir kumis tebal. Menambal jalan yang tidak mulus justeru pilihan hidup yang menggairahkan.
Nietzsche jagoannya pelihara kumis tebal. Satu jenis kumis "dinamit." Nietzsche seakan-akan menjerit karena matinya "moralitas" di tangan sang penambal jalan, Gufron.
Sejak kapan kita "angkat topi" seraya membela wong cilik sang penambal jalan? Siapa yang kita sangsikan?
Boleh saja orang bangga dengan menggondol prestasi. Wajar saja Anda menyabet gelar dan pangkat mentereng.
Tetapi, tidak ada seseorang menikmati simponi kehidupan, kecuali menjadi sang penambal jalan. Semestinya kita malu pada pak Gufron, sang ayah kreatif, sang penambal jalan. Sudah tentu yang ditambal adalah jalan yang rusak.