"There is nothing outside the text" (Tidak ada sesuatu di luar teks).
Pernyataan paling 'ngejos' itu dari Jacques Derrida (1997:158), filsuf Perancis. Saya dan mungkin Anda ngefans sama dia.
Meski tidak bisa dibandingkan, pengaruh pemikir besar itu menyentuh catatan saya lewat teks tertulis.
Di sini muncul pertanyaan. Pernahkah kita membaca buku tanpa kosa kata, huruf-huruf atau teks tertulis? Bisakah buku tanpa wujud benda?
Setelah teori, apakah yang dilakukan oleh orang-orang jika tidak ada lagi teori?
Deretan pertanyaan di atas mungkin dianggap setengah gila. Tunggu dulu ya pak, bu, bestie!
Bukankah teks banyak ragamnya? Seperti teks gedung pencakar langit atau kecerdasan artifisial, bukan?
Baiklah! Sekarang, dimanakah relasinya antara bujuk rayu dan teks ada dimana-mana? Apakah bujuk rayu buku bermula datang dari hasrat lewat dunia teks atau dari tubuh?
Teks tidak lebih penting ketimbang hasrat untuk pengetahuan melalui buku libidinal. Dari satu libido ke libido lainnya.
Buku sebagai libido, yang ditopang oleh tubuh dan akhir dari teks. Buku 'revolusioner' adalah hasrat radikal yang dingin dan telanjang. Titik kelenyapan realitas datang dari sesuatu yang merangsang. Ia masih tetap dipertajam oleh buku sebagai libido yang khas.
Buku libidinal merupakan sumber kelenyapan 'idealisme', yang pada akhirnya tidak ada lagi kenikmatan atas teks, kecuali kegalauan atas realitas.