Lihat ke Halaman Asli

Ermansyah R. Hindi

Free Writer, ASN

Bagaimana Filsafat Bisa Digunakan di Masa Krisis

Diperbarui: 24 November 2022   09:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi para filsuf (Sumber gambar : feelsafat.com)

Saya tiba-tiba menepuk jidat. Mengapa saya lupa, jika setiap 17 November diperingati sebagai Hari Filsafat Sedunia. Saya terpaksa meniru bunyi judul tulisan orang lain. Sepinya peringatan Hari Filsafat Sedunia. 

Saya coba tambahkan. Selain Martin Heidegger di abad kedupuluh, Slavoj Zizek pun (begitu uniknya nama ini) ikut merayakan tamatnya filsafat di abad kedupuluh satu. Mengapa? Saya tidak tahu. Yang jelas, apa yang dimaksud tamatnya filsafat menurut Heidegger dan Zizek berbeda dengan orang awam seperti saya. Jelas atau tidak?

Meskipun polemik filsafat sempat riuh di ruang diskusi dari kalangan pemikir hebat di tahun lalu (2021), dimana titik sentuhannya tentang ‘tamatnya filsafat’, yang diistirahatkan oleh sains. 

Tetapi, hal itu, tidak lantas saya mengurungkan niat untuk memberi catatan kecil seputar filsafat dan kegunaannya di tengah krisis. 

Satu catatan kecil yang awut-awutan dari saya, bukan untuk bantah-bantahan filsafat. Karena pilihan yang berbeda, maka biangnya krisis dari ‘cara berpikir’.   

Cukup sudah celoteh ini. Sekarang kita mulai saja. Kesenangan terhadap sesuatu yang kasat mata, misalnya belanja busana atau perhiasan tidak menghilang atau tertunda dalam krisis. Nanti krisis ‘kocek’, krisis ‘boke’ alias ‘ga punya duit’, lalu beranak CLBK (Chat Lama Beli Kagak) di layar medsos. 

Maaf! Saya mencomot istilah anak gaul. Jika krisis boke, apakah Anda berselera tinggi? Satu lagi. Saya comot lagi istilah. Quarter-life crisis (usia krisis, dimana mulai mempertanyakan: “Gue ini hidup mau ngapain sih?” Ini gaya bertanya anak gaul, bukan seleb berkelas atas.

Jika krisis boke akut melanda sejagat, apa yang terjadi? Anak gaul yang jawab. Krisis hebat tanpa nego, tanpa COD (pembayaran terjadi ketika bertemunya penjual yang membawa barang dengan pembeli yang membawa duit), nir onlen, nir seken, dan sonder lapak.  

Ini berbeda dengan anak-anak di desa. Mereka tidak butuh ‘alarm’ krisis. Tetapi, semua BU (butuh uang), malah BUC (butuh uang cepat). Bahayanya, jika krisis akut sampai di ubun-ubun, maka doi bisa salty (bete karena tersinggung, baperan). Saya kira, sudah dulu istilah anak gaul!

Tanda merupakan jalan keluar sekaligus perangkap dari kemelut ini, terlepas ia akan musnah atau mati. Sebagai akibat krisis ekonomi menjadi beban berat yang dipikul oleh jutaan orang. Akhirnya, produksi berlebihan (eksploitasi atas sumber daya alam) bukan krisis akibat lenyapnya nilai ekonomi, tetapi lenyapnya makna esensial dalam kehidupan.

Saya coba antar ke gambaran yang lebih nyata. Produksi ekonomi yang berlebihan terutama di negara-negara industri kapitalis maju sebagai biangnya krisis. Hanya itu ocehan dan sumpah serapah kita terhadap siapa yang bertanggungjawab atas krisis (termasuk prasangka dari sebagian orang Indonesia). Tetapi, saat krisis di depan mata, yang dibantu oleh catatan rugi laba sebelum yang lain datang dengan wajah lebih seram menghampiri kita. Saya kira, krisis ada hiburannya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline