Apa dalam benak sang profesor matematika keluar dari ateisme? Mungkinkah kehidupan ateis mengganggunya setelah banyak pertanyaan muncul, tetapi belum terjawab?
Ataukah terngiang-ngiang dalam ingatannya di masa kecil tentang kehidupan agama atau eksistensi Tuhan?
Ada seberkas cahaya muncul di ujung lorong-lorong labirin yang buntu dan menantang.
Di masa kecil meluncur pertanyaan darinya. Dad, do you believe in Heaven? (“Ayah, apakah Anda percaya pada Surga?”).
Pertanyaan yang terdengar sepeleh, tetapi membuat dahi berkerut.
Ada lagi rangkaian pertanyaan cukup dahsyat. ”Jika Tuhan itu ada dan punya cinta dan kasih sayang, lalu mengapa begitu banyak penderitaan di atas bumi? Mengapa Dia tidak menjadikan saja kita semua sebagai penghuni surga-Nya? Mengapa Dia cukup saja menciptakan orang-orang di atas bumi ini dengan berbagai kebahagian?”
Serangkaian pertanyaan sang profesor ateis itu begitu menyentak telah menyeretnya dalam pergolakan batin.
Kita sadar bahwa sang profesor ateis itu tidak sedang mencari sebuah petanda transendental. Dia tercekik antara jejak dan tanda, penanda dan petanda.
Lebih dari itu, wujud spiritual bersama pergolakan batin bukanlah kata atau tanda dari kisah sejarah yang singkat. Penanda juga tidak datang dari kejadian dan ungkapan tanpa bobot.
Ateis merupakan akumulasi tanda refleksi, yang pada akhirnya berhubungan dengan kehidupan batin.
Pilihan individu merupakan sesuatu yang berada di luar dirinya. Ia bukanlah permasalahan berhubungan atau tidak antara eksistensinya secara individual dan kehadiran ‘Wujud Agung’, melainkan menolak wujud dan jejak Tuhan. Ketidakhadiran Tuhan lahir dalam teks tertulis.