Ditengah hiruk-pikuk kampanye pilpres, kita dikejutkan dengan demo oleh serikat pekerja Pertamina yang menuntut keberpihakan Pemerintah kepada perusahaan Migas Nasional, seperti isu blok Mahakam dan Pertagas yang mau diambil alih PGN(detikfinance, 5/6/14). Bersamaan dengan kampanye calon Presiden, ide nasionalisasi aset dan kemandirian energi disampaikan team sukses masing-masing calon Presiden disamping janji “besar” seperti menyelesaikan permasalahan korupsi, lingkungan, macet, banjir, buruh dan pengangguran, bahkan untuk melepaskan Indonesia dari keterpurukan.
Masih segar diingatan, berita menarik pada bulan Agustus lalu, dengan masuknyaPertamina dalam daftar 500 perusahaan global terbaik yang dikeluarkan majalah prestisius Fortune. Walaupun cukup jauh dibandingkan Petronas, tapi hasil ini benar-benar luar biasa. Hal ini sepertikutipan pernyataan bapak menteri BUMN tentang Pertamina,“ ..bayangkan kalau Pertamina bisa merdeka dari segala macam intervensi dan kepentingan. Alangkah besarnya dia! (detikfinance 19/8). Berselang dua minggu kemudian, diikuti berita Pertamina ambil alih tender minyak mentah dari sebagian kecil kewenangan SKK Migas yang sedang menjadi sorotan.
Rencana merger PT Pertagas dan PT PGN dibawah Pertamina yang sedang dalam proses juga menghiasi berita sejak November lalu. Pertamina telah menuntaskan kajian rinci mengenai merger anak usahanya ini. Kajian dilakukan menindaklanjuti wacana merger yang disampaikan Menteri BUMN, “..Jika disetujui pemegang saham,merger Pertagas-PGN ini akan menjadi tambahan kekuatan bisnis hilir gas Pertamina. Pasalnya, perusahaan hasil merger nantinya akan menjadi anak perusahaan Pertamina”. (Investordaily, 21/11/2013). Ditengah pro dan kontra mengikuti rencana merger ini, beritaantiklimaks disampaikan kementrian BUMN, menyatakan rencana akuisisi PGN oleh Pertamina melalui Pertagas berubah, sebaliknya menjadi PGN yang mengakuisi Pertagas (Republika, 13/5). Pro dan kontra semakin hangat, dari sisi lain, Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi) menolak ide ini, karena bila akuisisi oleh PGN yang sebagian sahamnya milik asing terjadi, maka sama dengan menyerahkannya pada investor asing (Antara, 11/5/2014).
Berbeda dengan pengambilalihanInalum oleh pemerintah Indonesia yang memberikan semangat baru. Komisi Keuangan DPR akhirnya menyepakati pengambilalihan saham PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) oleh Pemerintah pada akhir Oktober lalu setelah 30 tahun dikuasai Jepang. Kita tentu sangat mendukung ketegasan Pemerintah yang berani untuk mengakhiri kerjasama dengan konsorsium perusahaan Jepang, Nippon Asahan Alumina (NAA). Walaupun proses kesepakatan menyeluruh dengan pihak Jepang “sangat alot”, keberanian Pemerintah patut mendapat pujian, yang sebelumnya banyak pihak meragukan kemampuan tenaga ahli Indonesia dalam mengelola Inalum. Tentunya Pemerintah diharapkan tidak berhenti pada pengambilalihan Inalum saja. Harapan berikutnya, seperti desakan banyak pihak, Pemerintah melanjutkan pengambilalihan blok-blok migas dan tambang yang sudah habis masa kontraknya, renegosiasi kontrak migas dan transportasi migas, bahkan jika mungkin blok baru baik di dalam maupun luar negeri. Tidak kalah pentingnya Pemerintah juga harus membangun atau meng”upgrade” “refinery” (kilang) baik untuk alumina, minyak, gas, geothermal, pertambangan dan sumber daya lainnya.
Merger perusahaan plat merah, sudah beberapa kali dilakukan, termasuk yang sudah terlihat berhasil seperti holding pabrik semen dan pabrik pupuk, sedangkan untuk pertambangan dan perkebunan masih dalam proses pembahasan yang panjang.Diharapkan proses merger dan pengambilalihanoleh perusahaan-perusahaan milik Negara ini terus membesar dan bukan sebaliknya melakukan privatisasi ataupunmenjual nya ke pihak swasta maupun asing.
Mungkinkan nasionalisasi migas dan pertambangan di Indonesia? Jawabannya tentu sangat mungkin; yang pertama, dalam ayat 3 Bab XIV Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, jelas dinyatakan bahwa segala hal seperti, air, tanah, hasil bumi Indonesia dikuasai oleh Negara untuk kesejahteraan masyarakat. Sangat jelas dalam pasal ini, secara menyeluruh bahwa segala hal strategis tetap dikuasai Negara. Tentunya termasuk dalam hal ini minyak, gasdan pertambangan; yang kedua, sudahbanyak negara yang menasionalisasimigas-nya, bahkan dua contohnegarayang berhasil seperti di Norwegia dannegara tetangga kitaMalaysia; dan yang ketiga, keyakinan bahwa kita bangsa Indonesia yang besar, mampu baik secara teknologi maupun finansial. Jika Pemerintah dan DPR benar-benar berniat untuk mencapai kedaulatan energi di negeri ini. Wacana ini sudah sering disampaikan diberbagai media.
Dari sudut lain, dalam pandangan agama Islam, bahwa semua manusia berserikat dalam kepemilikan umum/ publik (al-milkiyah al-âmmah) termasuk sumberdaya alam minyak bumi, gas, geothermal dan tambangyang pengelolaannya harus diserahkan kepada Negara secara profesional dan tentu bebas korupsi agar seluruh hasilnya dapat dikembalikan kepada rakyat. Dengan kata lain, bukan Pemerintah yang mensubsidi rakyat, tetapi sebenarnya rakyatlah yang mensubsidi bahkan membiayai Pemerintah.
Alasan yang sering disampaikan bahwa kendala dalam mewujudkan kedaulatan energi ini adalah teknologi dan dana, walaupun dua hal ini rasanya terlalu dipaksakan. Dengan adanya pola yang sudah dilakukan oleh Negara tetangga kita yang kononnya dulu belajar ke Pertamina, bagaimana pengelolaan teknologi atas nama Negara dilakukan. Hal ini sangat mungkin dan juga sudah kita lakukan, bukankan sudah sekian kilang/ pabrik yang sudah dibangun oleh putra-putri Indonesia sendiri?, atau setidaknya bisa mengikut pola di Malaysia atau Norwegia, dengan cara merekrut tenaga asing pada awalnya, sambil mempersiapkan kaderisasi internal. Sedangkan dari sisi dana, ini hanya perlu keterbukaan Pemerintah dan DPR untuk keperluan pengembangan migas Nasional, rasanya sangataneh kalau Negaratidak punya uang untuk investasi ditengah “pesta pora” uang rakyat yang dikorupsi, pengelolaan tata-negara yang tidak efisien, kontrak karya yang memihak asing, isu transportasi migas dan pengeluaran biaya tidak tepat sasaran?.
Selanjutnya, untuk kasus membesarkan Pertamina ini, perlu dukungan kebijakan dari DPR dan Pemerintah untuk mewujudkan kemandirian energi. Bukankah dulu Petronas belajar ke Pertamina?, dan mereka konsisten dengan semangat nasionalisme yang tinggi untuk membesarkan Petronas, mereka jadi besar, sedangkan sebaliknya Pertamina, dengan alasan “conflict of interest”, dan berbagai alasan, kemudian kewenangannya sebagai regulator dikurangi. Namun saat ini, Pertamina sudah mulai diberikan kepercayaan kembali. Karena sebenarnya Pertamina punya kemampuan, baik teknologi maupun sumberdaya manusianya. Kita memahami, jika migas dikelola oleh pihak asing, maka Pemerintah tidak punya kekuatan untuk menentukan pengelolaan dalam operasi dan pemanfaatan hasil yang menjadi kewenangan pihak asing.
Masalah konflik kepentingan, tentu hal ini sangat tergantung dari kacamata mana melihatnya. Jika dilihat dari kaca mata pihak asing dan swasta, tentu mereka mengatakan demikian, apalagi jika dikaitkan dengan monopoli. Kalau monopoli dilakukan oleh Negara untuk kepentingan rakyat, apa salahnya? Sebab, jika dilihat dari kepentingan rakyat, sudah seharusnya bidang ekonomi yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara. Sedangkan jika dari sisi kemungkinan korupsi, tentunya harus dibahas dalam topik lain, baik aturan, pelaksanaan dan hukumannya. Sebab korupsi ini lebih pada adanya kesempatan dan mentalitas pelakunya, disamping tidak yakinnya mereka bahwa akan ada mahkamah akhir nantinya di akhirat kelak jika mereka lolos dari hukum di dunia. Jadi korupsi bukan karena otoritasnya digabung atau dipisah.
Dari dunia manajemen, jika perusahaan konstan, sekadar bertahan untuk bersaing,atau ingin lebih maju, tanpa perubahan yang mendasar, sedangkan pesaing sudah lebih cepat berubah,maka solusinya adalah: pertama, perubahan cara berpikir dan bertindak dari internal perusahaan; atau yang kedua, mendatangkan pemimpin/ manager dari luar, atau setidaknyamendatangkan ahli dari luar perusahaan, setidaknya sebagai perbandingan.
Berdasarkan riset di dunia sumber daya manusia (SDM), perbedaan latar belakang profesi, negara asal dan keahlian bisa memberi nilai tambah dan solusi kelangkaan tenaga ahli dalam perusahaan, sehingga banyak perusahaan di luar negeri mendatangkan expatriate atau tenaga ahli khususnya teknik untuk memenuhi target teknis dan keragamanan asal Negara. Hal ini akan memunculkan persaingan sehat secara profesional di dalam perusahaan.Dari pengalaman penulis bekerja pada beberapa proyek Petronas, mereka melakukan pengembangan internal baik itu tenaga ahli dari luar negara (expat) apalagi lokal (pribumi). Sangat terlihat para expat Petronas yang juga banyak dari Indonesia, ikut memberi kontribusi dalam membantu pihak manajemen Petronas dalam pengambilan keputusan. Tidak terlihat kecemburuan pada tenaga lokal, bahkan mereka tetap yakin dengan pola yang sudah ditetapkan oleh perusahaan kebanggaan mereka. Dengan kondisi sudah menduduki posisi 72 di Fortune 500, diakui bahwa Petronas pun seperti kebanyakan perusahaan Negara lainnya, kurang lincah, kaku, dan masih banyak yang perlu perbaikan, disamping birokrasi “governance” yang ketat.
Pergantian pemimpin atau manager dari luar perusahaan untuk alasan perbaikan perusahaan, sudah biasa dilakukan, baik di negeri jiran atau pun perusahaan besar di luar negeri. Beberapa perusahaan yang hampir bangkrut atau mulai sulit bersaing berhasil dalammelakukan perbaikan dan kemudian menjadi perusahaan yang maju. Di negeri kita, pergantian pemimpin atau managerdari luar perusahaan, seolah “tabu”, dan sudah biasa mendapat penolakan dari dalam perusahaan, dengan alasan, bahwa akan menimbulkan gejolak internal atau hanya orang dalam yang lebih tahu tentang perusahaan, sedangkan yang dari luar dikatakan tidak memahami, tidak mampu dan tidak berpengalaman. Bukankan ketika bapak Dahlan Iskan masuk ke PLN juga ada resistensi dari luar dan dari dalam perusahaan?. Tentunya banyak contoh kasus tentang resistensi dari dalam perusahaan jika pemimpin/ manager didatangkan dari luar. Jika visi, misi, dan nilai perusahaan ditunjang dengan sistem yang kuat dan selalu disesuaikan dengan kondisi dan tujuan/target perusahaan, seharusnya tidak perlu ditakutkan adanya pemimpin dari luar perusahaan. Perlu didapatkan pemimpin perubahan seperti bapak Emirsyah Satar di Garuda dan bapak Ignatius Jonan di KAI.
Berbicara tentang investasi, masih segar dalam ingatan kita ketika di awal pemerintahan bapak Jokowi di DKI, pernyataan menggelitik dan menarik dari pak Jokowi tentang pinjaman Jepang untuk proyekMRT,”.. mereka (Jepang) cukup memberikan pinjamanuangnya saja, sedangkan proyeknya ya kita kelola sendiri,,”. Selain itu juga pak Jokowi mengatakan APBD DKI masih ada Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (Silpa) per tahun yang masih bisa digunakan untuk proyek MRT ini (Detiknews, 2/12/2012). Pernyataan ini jadi menarik, karena sejak berdirinya negeri ini, setiap pinjaman selalu diikuti oleh masuknya perusahaan dari Negara penghutang untuk terlibat dalam pengelolaan proyeknya, dengan kata lain “mana ada yang gratis di dunia ini?”, apatah lagi yang namanya pinjaman. Ada tiga kemungkinan dari pernyataan pak Jokowi ini; yang pertama, dari sisi bisnis pernyataan ini sangat wajar, terutama jika dikaitkan dengan rasa nasionalisme yang selalu menempel erat pada setiap gerakan bapak Gubernur DKI ini; kedua, sudah diketahui dan ingin berubah, sedangkan yang ketiga, bisa jadi karena tidak tahu bahwa praktek seperti ini sudah menjadi keharusan sejak negeri ini merdeka? Walaupun akhirnya bapak Jokowi juga mengalah pada kekuatan Jepang yang tetap dominan pada proyek MRT ini. Berharap pada Presiden baru baik itu bapak Prabowo atau bapak Jokowi, jika memegang kekuasaan yang lebih besar akan makin “berani” untuk menciptakan Indonesia yang berdikari dan mandiri.
Dipetik dari hasil diskusi MITI (MITI news, 6 Des 2013), sejumlah kalangan menilai bahwa menyerahkan pengelolaan migas pada asing sama saja menggadaikan kedaulatan Indonesia. Sebab dengan jangka waktu kontrak yang lama, sumber daya alam yang terkandung akan habis untuk memenuhi kebutuhan asing, sebelum negara dapat menikmati sumber daya energi tersebut sebagai modal untuk pembangunan nasional. Demikian juga keuntungan negara dalam bentuk bagi hasil, adalah tidak seberapa dibandingkan dengan porsi yang diambil asing apalagi jika ditambahkan cost recovery yang harus dikeluarkan untuk mengganti biaya yang sudah dikeluarkan oleh kontraktor.
Mengacu permasalahanyang disampaikan Menteri ESDM dan Dirut Pertamina, bahwa Indonesia saat ini membutuhkan kilang minyak baru untuk mengurangi ketergantungan impor BBM. Namun rencana pembangunan kilang tersendat masih tersendat masalah investasilebih dari 2 tahun, karena menunggu kebijakan fiskal dan insentif dari Kementerian Keuangan. Bak buah simalakama, tentunya Kementerian Keuangan sulit memutuskan karena seperti disampaikan diatas, mana ada investor hanya mau meminjamkan uangnya saja? Dengan banyaknya permintaan dari Investor seperti yang disampaikan oleh Wakil Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan, insentif yang diminta dua investor ini di luar batas. Seperti permintaan lahan dan pembebasan pajak daerah. Sementara yang bisa disediakan pemerintah adalah tax holiday (Detikfinance,13/12/2013). Walaupun pada saat ini bidang minyak dan gas bukan jadi primadona lagi. Usaha Pertamina untuk merambah bidang Petrokimia juga perlu diacungi jempol, meskipun agak terlambat jika dibandingkan dengan kompetitor petrokimia dunia.
Kalau di negara tetangga kita, Petronas diberikan keleluasaan untuk melakukan investasi baik didalam maupun diluar negeri dengan dukungan penuh dari Pemerintah dan parlemen.Dan tentunyamereka juga sadar bahwa setiap investasi tentu ada resikonya. Seperti irinya Dirut Pertamina pada CEO Petronas dalam mengelola investasi dalam pernyataannya di depan Komisi VI DPR, Kamis (Detikfinance, 5/12/2013),”.."Saya ingin sampaikan Tan Sri (Shamsul Azhar Abbas) CEO Petronas. Dia menyampaikan bahwa waktu saya jadi CEO Petronas saya diberikan pemerintah Malaysia dana US$ 10 miliar untuk gamble (perjudian), kenapa dia bilang gamble karena saya atau kita tidak tahu investasi di upstream seperti apa hasilnya, walaupun kita sudah pakai teknologi center yang tinggi," katanya. Dan pada tahun ini dalam kondisi ekonomi yang lebih kompleks, Petronas meluncurkan rencana mega proyek terintegrasi minyak, gas dan petrokimia di Johor dengan biaya investasi mencapai US$20milyar. Bahkan mereka juga telah melakukan investasi dibidang migas triliyunan rupiah di negeri kita.
Logika sederhana, jika perusahaan swasta atau luar negeribersedia berinvestasi, berarti investasinya menguntungkan, dan jika itu menguntungkan, kenapa tidak Pemerintah saja yang mengelola investasi strategisnya? Harapan besar pada Pemerintah baru dan DPR untuk menjadikan Pertamina yang besar dan merdeka, tidak hanya di dunia migas, pertambangan, perkebunan tapi juga sumber energi lainnya. Kembali menjadi regulator, pengawas dan operator, walaupun saat ini secara internal Pertamina sudah membangun kultur pelaku bisnis atau fokus sebagai operator. Tentang bagaimana realisasinya? Apakah aturan Perusahaan Terbatas (PT) atau ada pilihan lain, kita serahkan pada keberanian Pemerintah dan DPR untuk memutuskan dengan mengajak semua pihak terkait.
Alangkah indahnya jika diiringi dengan usaha penyelamatan uang Negara dari ketidakefisienan operasi, rantai bisnis yang tidak perlu dan pemberantasan korupsi. Dengan besarnya Pertamina dan BUMN lainnya, tidak seharusnya setiap bisnis atau anak perusahaannya selalu menguntungkan. Hal yang lebih penting adalah menguntungkan Negara dan menaikkan kesejahteraan rakyat, sehingga gonjang-ganjing penentuan harga, seperti gas elpiji yang lalu tidak terulang lagi. Jika usaha ini berhasil, akan sangat mungkin menular pada BUMN-BUMN lainnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H