Segala sesuatu pasti ada permulaan, kecuali Allah Al-Qadiim.
Ngomong2 tentang permulaan, saya jadi ingat awal kali saya menyukai langit.
Saat itu, kelas 2 MTs, pada jam mata pelajaran fisika. Guru saya yang masih berstatus Mahasiswa ITB membagikan kertas ulangan dengan tangan gemetar. Saya yang saat itu duduk di bangku pertama sudah berfirasat buruk. Pasti nilainya kecil2. Beliau pasti merasa sedih.
Tibalah giliran nama saya dipanggil. hati saya mencelos. Nilai saya jauuuh di bawah. Saya ingat menyobek kertas ulangan tersebut --di bawah meja-. Rasa marah kepada guru, rasa kecewa pada diri sendiri bercampur aduk. Jujur, sampai saat ini saya penasaran, apakah guru saya melihat aksi saya menyobek kertas?. duh nyesel sih udahnya. Gak sopan banget rasanya.
Setelah kejadian hari itu, spt layaknya murid2 sekarang, kami laporan ke guru tingkat sebelumnya, bahwa kami gak ngerti materi, penjelasan guru gak nyampe kepada kami dan bla bla bla. Guru kami di kelas 7 pun menjelaskan bahwa guru yg skrg mengampu mapel fisika itu pintar dan kami disuruh bersabar.
Pekan berikutnya, guru tersebut datang mengajar lagi. Selepas menyampaikan materi, beliau menyuruh kami bertanya. Karena kami hanya diam saja, maka beliau "mengancam" akan ulangan.
Oalah belum sembuh trauma kami dengan ulangan yang "sulit" dan nilai yang kecil, udah mau ulangan lagi. Jadilah kami saling mendorong untuk bertanya. Akhirnya otak saya terpaksa mencari bahan pertanyaan. Satu pertanyaan ngasal yang memancing pertanyaan serius dan bikin ketagihan.
"yang manakah langit dunia?"
"mengapa ilmuwan bisa tahu bahwa Jupiter adalah planet terbesar?"
"semalam saya melihat cahaya besar mengelilingi bulan, apakah itu? mengapa bisa terjadi?"
Demikian terus menerus KBM berjalan, hingga saya lebih mengerti materi dan menyukai astronomi. Ternyata, beliau adalah tipikal orang yang cocok dengan pendekatan tanya jawab; semakin ditanya semakin kelihatan wawasannya yang cemerlang.