Oleh: Ermaeni, Fungsional Penyuluh KB Perwakilan BKKBN Provinsi Sumatera Barat
Stunting adalah kondisi gagal pertumbuhan pada anak (pertumbuhan tubuh dan otak) akibat kekurangan gizi dalam waktu yang lama. Sehingga, anak lebih pendek atau perawakan pendek dari anak normal seusianya dan memiliki keterlambatan dalam berpikir. Umumnya disebabkan oleh asupan makan yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi.
Pemantauan Status Gizi (PSG) 2017 menunjukkan prevalensi Balita stunting di Indonesia masih tinggi, yakni 29,6% di atas batasan yang ditetapkan WHO (20%). Tahun 2015 Indonesia tertinggi ke-2 di bawah Laos untuk jumlah anak stunting. Indonesia merupakan negara nomor empat dengan angka stunting tertinggi di dunia. Lebih kurang sebanyak 9 juta atau 37 persen balita Indonesia mengalami stunting (kerdil). Prevalensi kejadian stunting di Sumbar Tahun 2016 yaitu 25,6 %.
Dampak stunting umumnya terjadi disebabkan kurangnya asupan nutrisi pada 1.000 hari pertama anak. Hitungan 1.000 hari di sini dimulai sejak janin sampai anak berusia 2 tahun. Permasalahan stunting terjadi mulai dari dalam kandungan dan baru akan terlihat ketika anak sudah menginjak usia dua tahun. Awal kehamilan sampai anak berusia dua tahun (periode 1000 Hari Pertama Kehidupan) merupakan periode kritis terjadinya gangguan pertumbuhan, termasuk perawakan pendek.
Awal kehamilan adalah masa yang sangat urgen termasuk dalam menimbulkan suasana hati dan kenyamanan ibu hamil. Perubahan hormonal pada awal kehamilan menyebabkan penurunan nafsu makan dan kelabilan emosi. Setiap wanita hamil mendambakan perhatian dan dukungan psikologis dari anggota keluarga terutama suami dan orang tua dalam pemenuhan kebutuhan gizi pada ibu hamil tersebut. Nah, bentuk kepedulian ini akan terwujud dalam suatu komunikasi yang intim dalam keluarga.
Hal yang lain disampaikan dalam sebuah artikel kesehatan bahwa salah satu penyebab stunting adalah terkait dengan pola makan anak. Pola pemberian makan pada anak ini bukan hanya tanggung jawab ibu semata, namun peranan seorang ayah juga menentukan kepiawaian seorah ibu dalam menciptakan menu makanan dan pola makan anak. Tentunya semua hal ini tiangnya adalah komunikasi dalam keluarga yang intensif antara suami dan istri dalam pengasuhan anak termasuk pola memberi makan pada anak.
Apapun permasalahan dalam keluaga kunci penyelesaiannya dan solusinya adalah dengan komunikasi. Komunikasi dalam keluarga lebih banyak komunikasi antar pribadi. Relasi antar pribadi dalam setiap keluarga menunjukkan sifat-sifat yang kompleks. Komunikasi antar anggota keluarga dilakukan untuk terjadinya keharmonisan dalam keluarga. Hasil komunikasi atau akibat komunikasi dapat mencapai aspek kognitif menyangkut kesadaran dan pengetahuan, aspek afektif menyangkut sikap dan perasaan dan aspek psikomotor menyangkut perilaku dan tindakan, termasuk tindakan pencegahan stunting.
Komunikasi perubahan perilaku dalam pencegahan stunting melalui pola konsumsi/makan, pola asuh, higienis pribadi dan lingkungan. Perubahan prilaku tidak akan diperoleh dengan sekali atau dua kali komunikasi, tetapi melalui komunikasi berkelanjutan baik secara lansung maupun melalui saluran komunikasi. Adapun saluran komunikasi yang dimaksud bisa melalui advokasi pihak pengambil keputusan yang mana keputusan dan kebijakan yang di terbitkan terkait atau berpihak terhadap penurunan stunting. Selain itu, proses komunikasi mesti gencar-gencarnya dilakukan melalui media cetak, elektronik maupun media sosial. Hingga akhirnya pesan-pesan pencegahan dan penurunan stunting akan mengena di hati masyarakat, masyarakat sadar dan paham akan hal itu. Pada akhirnya perilaku pencegahan stunting yang diharapkan akan terwujud demi generasi emas harapan bangsa. (*E)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H