Lihat ke Halaman Asli

Ingin Berwisata Religi ke Kota Kudus? Bersiaplah Hadapi Para Tukang Becak “Kasar” di Sana

Diperbarui: 30 Mei 2016   13:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berwisata religi menjadi salah satu opsi bagi kita untuk mengisi hari liburan. Berziarah ke makam para Wali Songo menjadi salah satu wisata religi yang paling diminati oleh para umat muslim. Dan kali ini, saya ingin berbagi pengalaman wisata religi pertama saya kemarin. Sebenernya saya pribadi tidak begitu tertarik untuk melakukan wisata religi, karena jujur saya takut untuk bepergian ke makam-makam seperti itu. Ini saya lakukan karena dipaksa oleh Ibu saya untuk menemaninya.

Salah satu destinasi yang saya kunjungi adalah Menara Kudus. Tetapi kali ini saya tidak akan membahas mengenai keelokan arsitektur bangunan masjid, maupun suasana di dalam makam yang penuh khidmat dengan lantunan doa dari para peziarah yang hadir. Namun saya ingin menyoroti, transportasi untuk menuju ke tempat tersebut.

Karena saya kesana menggunakan bus pariwisata, jadi saya dan rombongan tidak dapat langsung menuju ke lokasi Menara Kudus tersebut. Bus kami diparkirkan di terminal, dan kami harus menggunakan jasa transportasi lain untuk dapat menuju ke Menara Kudus. Ada 4 opsi untuk menuju kesana, yakni: angkot, ojek, delman, dan becak. Begitu kita turun dari bus, kita disambut bak artis oleh para tukang becak dan ojek. Jujur, saya sedikit ngeri, karena hampir tertabrak becak ketika akan menyeberang. Dan waktu itu saya memilih untuk menggunakan becak, dengan tarif Rp 12.000,00.

Karena saya orang Jogja, jadi saya sudah terbiasa dong ya naik becak. Bayangan saya ketika naik becak adalah, saya dapat menikmati perjalanan saya dengan santai, sambil berbincang dengan tukang becaknya. Tetapi nol besar, jangankan menikmati perjalanan, sepanjang jalan saya malah merasa takut.. Para tukang becak yang mungkin saking semangatnya mengais rejeki, melupakan kenyamanan dan keselamatan para penumpangnya. Entah kata apa yang paling tepat untuk menggambarkannya, tetapi yang saya rasakan tukang becaknya itu seperti “grasak-grusuk” atau kalau orang Jawa mungkin biasa menyebutnya “kemrungsung atau kesusu atau grusah-grusuh”. Gowesan tukang becaknya berkali-kali lebih cepat dari becak yang biasa saya naiki, nyebrang jalan, belok jalan, dilakukan dengan cara cukup menyeramkan. Setiap ditanyai oleh ibu saya, jawaban tukang becaknya juga ketus. Sama sekali tidak bersahabat. Ketika menurunkan penumpang juga sembarang, pas dibayar dan diberi uang sambil saya mengucapkan “terimakasih” pun tak dibalas dengan sepatah kata apapun. Sungguh sambutan yang luar biasa yang saya dapatkan ketika baru menginjakkan kaki ke kota ini.

Setelah berziarah, saya pulang dengan menggunakan becak lagi. Karena saya takut naik ojek dan tidak ada delman yang lewat. Berharap pengalaman kurang baik dengan tukang becak sebelumnya hanyalah kebetulan, saya tetap positive thinking saja dengan tukang becak disana. Waktu itu ibu saya bertanya ke tukang becak dengan nada sangat halus. Ya, saya tegaskan sangat-halus. Kira-kira seperti ini percakapannya.

“Berapa pak?”

“15ribu bu”

“Loh tadi pas kesini Cuma 12ribu kok sekarang beda Pak” (sumpah ya itu ibu sayaa ngomongnya halus, biasa dong yaa ngomong begini nggak salah juga wong ya emang bener pas kesini cuma 12ribu. Dan kalopun 15ribu pun juga kami masih mampu bayar, bahkan ngasih uang lebih kalo perlu huhhh. Cuma ngomong gitu doang tolooooooooong). Tapi respon dari tukang becaknya sungguh di luar dugaan saya.

“Wes wes medun wae” (sambil menjoplangkan becaknya)

“Wong dalan e munggah kok njaluk rego podo. Ra sudi ngopeni duit 12 ewu. Sing butuh becak ora mung kowe, golek e becak liyo wae” (maaf saya nggak bisa nraslate karena kalo ditranslate ke bahasa Indonesia kurang gimanaa gitu haha).

Itu bapaknya ngomong dengan nada super tinggi, dahi berkerut, dan tampang menyebalkan. Itu masih ada tambahan nggerutu-nggerutu nggak jelas. Sumpah ya itu parah banget, saya rasanya pengen mengumpat. Lupakan cerita menyebalkan itu dan beralih ke cerita menyebalkan lainnya. Waktu saya dapet becak lainnya, karena bapak becaknya keburu-buru bin grasak-grusuk gitu, sendal ibu saya jatuh. Dan ibu saya udah teriak “Pak-pak sendal saya jatuh”, kaki ibu saya pun reflek turun mau ngambil tapi becaknya malah bablas saking keburu-keburunya. Alhasil telapak kaki ibu saya terseret dan jadi lecet-lecet. Karena jalanan macet dengan pejalan kaki, sesama becak, dll. Tukang becaknya itu marah-marah terus di perjalanan. Mereka juga saling bertabrakan becak gitu karena ingin sampai lebih dulu, kalau bahasa Jawa nya “nenggel-nenggel”, serem juga kebut-kebutan becak.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline