Lihat ke Halaman Asli

Ketika Sang Pelacur Insyaf

Diperbarui: 25 Juni 2015   06:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bergetar sekujur tubuh Iriani ketika bertatapan dengan lelaki yang terduduk di sepeda motor Ninja itu. Suprapto, Mandor yang selama ini mengawasi pekerjaannya di perkebunan yang juga merangkap sebagai cukong bagi kestabilan perekonomian keluarganya, menatapnya lekat-lekat. Mata elang itu yang dulu begitu sangat dikaguminya, kini seolah-olah menelanjangi seluruh tubuh bahkan cadar yang dikenakannya. Plastik bungkus belanjaan yang dipegangnya nyaris saja terjatuh ketika ia mencoba menggantungkannya di stang sepeda motor. Iriani gugup, detak jantungnya berpacu kencang. Doa-doa dipanjatkannya agar Suprapto tak mengenali dan mengikutinya ke rumah.

Iriani melirik kaca spion. Tak seorangpun terlihat membuntutinya. Tergesa-gesa ia memarkirkan sepeda motor. Dijinjingnya tas belanjaan masuk kedalam rumah. Dilemparkannya saja ikan-ikan yang dibelinya itu ke dalam kulkas tanpa membersihkannya terlebih dahulu. Ia mencuci tangan dan kakinya lalu masuk ke kamar. Di tempat tidur baru itu ia menumpahkan semua tangisnya. Cadar yang dikenakannya basah oleh air mata. Dibukanya cadar dan jilbab lalu ia melihat dirinya di cermin. Sejuta penyesalan memenuhi rongga dadanya. Isak itupun masih tersisa satu-satu.

Terkejut Iriani ketika melihat wajah seorang lelaki terpantul di cermin. Ia berbalik menoleh kearah  lelaki bernama Irfan berumur tiga puluh delapan tahun yang belum genap sebulan menikahinya. Ia memeluk suaminya  erat-erat seakan ingin mentransfer sisa  gemetar di sekujur tubuhnya. Irfan mengelus-elus rambut isterinya, mencoba menenangkan apapun yang telah membuat isterinya seperti itu. Di dudukkannya Iriani di sisi tempat  tidur.

“Sayang, kamu kenapa? Ceritakanlah semuanya! Aku akan selalu ada dipihakmu.” Irfan mencoba membujuk Iriani agar segera bercerita.

“Tadi waktu keluar dari pasar aku bertemu dengan Suprapto. Dia adalah salah satu Mandor yang selama ini selalu menggauliku di perkebunan. Aku takut sekali andaikata ia mengenali aku, Bang!.” Tangis Iriani tumpah lagi.

“Sudah… sudah! Berhentilah menangis! Dia tidak akan mengenali kamu bila kamu tak membuka diri padanya. Kamu harus kuat, Isteriku! Lupakan semua kisah-kisah dosa yang dahulu kamu lakoni! Tatap masa depan keluarga kita, karena tak hanya dunia yang ingin kita raih tetapi juga kemuliaan akhirat.” Irfan membujuk isterinya. Dipeluknya pundak Iriani mesra. Sesekali dilayangkannya ciuman di pipi isterinya.

“Betapa beruntungnya aku mendapatkan suami sebaik kamu, Bang. Teruslah membimbing aku. Jangan pernah tinggalkan aku kecuali maut memisahkan kita yah!” Iriani memegang kedua tangan suaminya erat-erat. Berkali-kali diciumnya kedua tangan itu.

“Oke, sekarang sudah tenang kan? Ayo kita siapkan menu makan siang hari ini! Sebentar lagi anak-anak pulang sekolah lho!” Irfan membimbing tangan Iriani menuju dapur.

“Sudahlah, Bang! Aku saja yang masak. Abang istirahat saja dulu sebelum Zuhur.” Iriani mendorong suaminya kembali ke kamar.

***

Irfan membaringkan tubuhnya di tempat tidur. Seragam telah digantinya dengan sarung dan sebuah kaos oblong berwarna putih. Diliriknya jam di dinding, masih ada waktu empat puluh lima menit lagi menjelang waktu Zuhur. Berkali-kali ia mencoba memejamkan mata namun tak berhasil membuat ia tertidur. Bayangan tentang perkenalannya dengan Iriani bermain-main di kelopak matanya. Sudah nyaris sebulan ia mengakhiri masa lajang dengan menikahi Iriani seorang janda beranak dua. Pada awalnya protes keras dari pihak keluarga berdatangan, namun setelah ia menjelaskan niat tulusnya untuk membantu Iriani, akhirnya semua keluarga memahami.

Ia mengenal Iriani hanya tiga hari. Ketika ia mengikuti rombongan dakwah berkunjung ke Desa tempat tinggal Iriani. Desa yang terisolir oleh perkebunan sawit milik BUMN, meski tidak terlalu jauh dari kota kabupaten. Tingkat perekonomian dan pendidikan yang rendah membuat keyakinan masyarakat terhadap agama menipis. Tak jarang ditemui rumah-rumah keluarga yang tak memiliki mukenah, apalagi isyu mengenai maraknya pelacur-pelacur perkebunan yang berasal dari desa tersebut adalah lahan dakwah yang harus segera diolah. Teknik dakwah tidak lagi sekedar mengajak orang-orang datang ke mesjid ataupun mushollah untuk sholat atau mendengarkan ceramah. Tetapi kini para pendakwah langsung datang ke rumah-rumah memberikan bantuan sembako sebelum akhirnya diajak untuk kembali mengikuti jalan yang diperintahkan agama. Saat itulah Irfan yang kebetulan ditemani oleh pimpinan dakwah bertemu dengan Iriani. Seorang janda muda dengan dua orang anak yatim yang masih sekolah dasar. Menempati rumah yang beratap rumbia dan berdinding tepas peninggalan suaminya yang  tewas dalam sebuah tabrakan dua tahun yang lalu. Sebuah pilihan hidup yang cukup pahit yang harus dilakoni seorang wanita.

“Aku harus menolongnya, Ustadz.” Tiba-tiba Irfan berteriak. Ia takut suaranya tak terdengar pimpinan dakwah akibat terbawa angin malam karena sepeda motor yang dipacunya lumayan kencang. Saat itu mereka dalam perjalanan pulang.

“Menolong siapa?” Ustadz Hamid pura-pura bertanya.

“Iriani, Ustadz!” Irfan berteriak lagi.

“Dengan cara apa?” Ustadz Hamid lagi-lagi mencoba menguji hati Irfan.

“Aku akan segera menikahinya, Ustadz! Mohon doa restu!” Mantap sekali ucapan Irfan saat itu.

“Aku merestuimu! Semoga kau siap dengan segala resikonya.” Ustadz Hamid mengingatkan.

“Siap, Ustadz! Besok malam aku akan melamarnya!” Sebuah tekad yang sangat nekat.

Besok paginya selepas subuh Irfan memberitahu keluarga terdekat. Karena kedua orang tuanya sudah meninggal maka hanya kepada kakaknya sajalah ia minta tolong untuk datang ke rumah Iriani. Kak Isma terkaget-kaget mendengar keinginan adik semata wayangnya ini akan menikah dengan seorang janda muda beranak dua. Tetapi karena ia sudah mengenal watak adiknya, maka sebagai wakil orang tua ia siap menemani adiknya untuk melamar Iriani nanti malam.

Siang harinya saat jam istirahat kantor, Irfan menyempatkan diri berkunjung ke rumah Iriani. Dengan ditemani oleh seorang penduduk desa Irfan mengutarakan niatnya untuk menikahi Iriani.

“Abang tidak sedang bercanda kan?” Iriani memberanikan diri menatap tepat ke bola mata Irfan. Ali, Penduduk desa yang menemani Irfan terlihat bermain-main dengan kedua anak Iriani.

“Tidak, Iriani! Tekad aku sudah bulat. Aku ingin menyempurnakan separuh agamaku dengan menikahimu.” Irfan berdalil.

“Mungkin abang akan segera mengurungkan niat apabila mengetahui siapa aku sebenarnya.” Lemah suara Iriani nyaris tak terdengar.

“Aku sudah mengenalmu. Kau janda dengan dua orang anak yang sangat memerlukan pertolongan.” Irfan sok mengenal Iriani.

“Akulah pelacur perkebunan yang sering dibicarakan orang itu, Bang!” Iriani menunduk dalam.

“Itu bukan masalah! Selepas menikah kau dan anak-anak akan mengikutiku ke kota. Agar tak seorangpun dari orang-orang yang pernah ‘memakai’ mu bisa  mengenali,  kau harus mengenakan jubah, jilbab dan cadar, Iriani. Itu akan membantu memulihkan kepercayaan dirimu.” Irfan memberikan solusi.

“Tapi, Bang… Aku tidak pandai ilmu agama. Bagaimana aku bisa memakai pakaian itu?” Iriani berusaha berdalih.

“Bila sudah menikah nanti, aku ini adalah imammu. Aku akan mengajarimu secara perlahan-lahan tentang ilmu dunia dan akhirat. Andaikan ajal menjemputku terlebih dahulu, kau sudah siap lahir dan bathin, Iriani.” Irfan mengeluarkan kalimat andalannya.

Malam harinya, acara pernikahan pun dilaksanakan. Sebagian Penduduk kampung berkumpul ikut mendoakan. Usai kenduri Irfan dan Iriani mohon diri untuk pindah malam itu juga. Sebuah rumah mungil sudah menanti mereka di kota.

***

Iriani selesai masak sudah. Ditengoknya suaminya masih berbaring di tempat tidur. Anak-anak masih belum pulang dari sekolah. Ia pergi ke belakang rumah, tempat setiap hari ia menghabiskan waktunya sejak menikah dengan Irfan. Di dorongnya pintu gubuk bambu beratap rumbia itu. Kelopak-kelopak jamur tiram menyambut kehadirannya. Dibelainya helai-helai jamur tiram yang putih bersih itu.

“Jamur tiram ini bagaikan diriku. Tumbuh dari sisa-sisa campuran serbuk gergaji kayu, dedak dan dolomite yang disterilkan lalu diberi  benih jamur hingga pada saatnya akan menghasilkan jamur tiram yang putih bersih bergizi tinggi. Aku, Iriani, seorang bekas pelacur perkebunan yang selalu dianggap hina kini dinikahi oleh seorang lelaki berbudi pekerti. Semoga aku bisa seperti jamur tiram ini, menjadi manusia yang kembali fitri dihadapan Illahi Rabbi.”

Simpang Dolok, 11 April 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline