Letihnya malam ini aku memikirkan tentangmu. Kau yang mengatakan tidak akan meninggalkan aku tetapi ternyata mematikan HP mu sejak sore kemarin. Kau yang mengatakan tidak akan mengawali sesuatu dengan kebohongan, tetapi sejak jam enam sore tadi tak kunjung tiba sesuai dengan yang kau janjikan. Kau yang mengatakan bahwa diantara kita sudah tidak ada batasan lagi ternyata sekarang membatasi diri.
Entah mengapa, aku ingin tidak pernah percaya dengan semua ucapan yang keluar dari mulut-mulut sepertimu. Karena bagiku, lelaki dan kebohongan itu adalah dua buah sisi mata uang yang selalu beriringan. Tetapi nyatanya! Aku menikmati saja semua kebohonganmu. Aku menikmati ciuman kilatmu ketika kita usai makan siang di pojok 'Ayam Penyet Surabaya' Krakatau kemarin siang. Aku juga tidak protes ketika sesuatu yang tidak semestinya terjadi telah terjadi tanpa ada kompromi. Semuanya begitu cepat bahkan teramat cepat, namun kini hanya menyisakan kenangan yang tak terlupakan.
Soluna merah itu adalah saksi bisu bahwa kita sudah menyatu pada ikrar yang tak pernah terucap. Pada penyerahan diri yang tidak semestinya terjadi. Aku tak bisa menolak karena aku memang sangat membutuhkannya. Kau sudah mampu mencuci otakku dengan penawaran-penawaran cintamu.
Kini, aku terkapar mengingat semua itu. Begitu singkat, begitu padat namun menyisakan pekat. Kau raib bersama malam tanpa bintang. Aku yang masih ingin mengusap lengan kokohmu kini hanya mengusap guling. Aku yang masih ingin mengelus perut gendutmu kini hanya bisa mengelus perutku sendiri. Kau pergi dengan sejuta tanya di hati. Kau pergi tanpa lambaian perpisahan. Kau raib bagai di telan bumi.
Aku tidak pernah membayangkan bahwa saat ini kau sedang terbaring lemah di sebuah ruangan ICU rumah sakit ternama karena Soluna merahmu beradu dengan Pajero putih yang kasar melaju. Yang ada di otakku adalah saat ini kau pergi dariku karena kau sudah mampu membuat otakku tak menolak dirimu.
Ini bukan kali pertama aku dibohongi lelaki. Kau pun sudah mengetahui itu karena aku sudah ceritakan semua kisah hidupku secara detail padamu kemarin malam. Tetapi mengapa kau masih tetap memburuku kemarin siang? Dan sekarang kau hilang?
Anomali para lelaki tak akan pernah bisa aku mengerti. Tingkat intelektual tinggi ternyata tidak bisa membuat para lelaki untuk tidak mengingkari janji. Aku terbodohi lagi.
Betapa bodohnya aku yang langsung percaya dengan kata-katamu. Kau terlalu piawai mengolah kata hingga membuat aku terlena. Dimanakah tempat para lelaki belajar berbohong? Inginnya aku kesana untuk mencuri kurikulum mereka atau bila perlu membakar semua buku-buku tentang teori-teori kebohongan yang ada. Atau, semua guru-guru pengajarnya akan ku bunuh satu demi satu agar kebohongan tidak lagi jadi warisan.
Besok tidak akan ada lagi waktu bertemu. Sebab aku sudah mem'backspace' dirimu sebelum kau men 'delete' namaku.
Hanya satu pintaku, akulah kebohongan terakhirmu. Aku sudah kebal dengan semua ulah lelaki, aku pun menjadi begini karena kaum lelaki. Sementara wanita lain, bisa jadi tak akan tahan bila kau perlakukan begini.
ERLINA, 24 Desember 2011
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H