Lihat ke Halaman Asli

Melahirkan: Antara Derita dan Qodrat Wanita

Diperbarui: 25 Juni 2015   22:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Wanita yang hamil tua itu bernama Elana. Berjalan terseok-seok menyusuri pematang sawah. Sebuah jirigen tua terlihat dijinjingnya. Sesekaliairnya diteguk untuk mengurangi dahaga. Disekanya butir-butir keringat di dahinya. Terlihat kelelahan lahir bathin di wajahnya.

Sejak pagi tadi Elana berada di sawah bapaknya. Membantu mengusir burung-burung yang mencuri bulir-bulir padi yang kuning keemasan. Tali temali dan kaleng susu berisi batu adalah alat bantunya dalam bekerja. “Hush! Hush! Hwaaaa!” itulah mantera yang sering sekali dirafalnya.

Bila matahari sudah nyaris diatas kepala, Elana pun beranjak pulang ke rumah. Biasanya pada jam seperti itu, burung-burung pipit enggan turun ke sawah. Seperti manusia pada umumnya, burung-burung itupun memilih hanya bercengkrama dengan keluarga di dalam sarangnya.

Tiba-tiba Elana merasakan sesuatu mengalir dari sela-sela pahanya. Berjongkok ia untuk melihat benda cair yang sedang mengikuti gravitasi bumi. Cairan seperti air seni, agak kekuning-kuningan mengalir tanpa kendali. “Apakah ini tanda-tanda aku akan melahirkan?” Elana berpikir seorang diri sambil berbenah menuju rumah.

Diperiksanya semua perlengkapan melahirkan yang sudah lama dipersiapkannya. Tak lupa ia memastikan uang sebesar empat ratus ribu rupiah masih ada ditempatnya. Hanya itulah uang yang dimiliki Elana untuk menyambut kelahiran bayinya. Anak pertama yang tak pernah mengenal sentuhan dokter spesialis kebidanan, yang ada hanyalah bidan-bidan desa tempatnya bertanya bila ada keganjilan pada kandungannya.

Tak berapa lama bidan yang dipanggil bapaknya pun tiba. Ibu Ramyah, bidan tua yang masih terus berkarya mengabdikan dirinya untuk keselamatan wanita-wanita desa dalam melestarikan keturunan ummat manusia. Konon, kedua adik Elana pun lahir dengan bantuan tangan dinginnya.

“Masih bukaan dua! Kemungkinan nanti malam bayimu akan lahir, Elana!” Tutur Ibu Ramyah.

“Tapi, Bu! Cairan ini terus menerus keluar!” Elana memberitahu tanpa diminta.

“Tidak apa-apa, itu biasa terjadi mengawali sebuah kelahiran.” Jelas Ibu Ramyah.

Setelah bidan itu berlalu, Elana mulai menyapu, mengepel dan membersihkan piring-piring yang berserakan. Menurut pengalaman, itulah cara mempermudah proses persalinan. Elana merasakan nyeri yang luar biasa untuk selang waktu yang agak lama. Ditahankannya saja sakit tak terperi itu tanpa berkata-kata. Keringat bercucuran membasahi baju hamil yang dikenakannya.

Semakin malam jarak kontraksi semakin rapat. Elana menggeliat-geliat bagaikan ulat. Dibentangkannya sebuah tikar di tengah rumah. Berputar-putarlah ia menahankan rasa sakit tidak terkira. Tiang-tiang mesin jahit tua dipelintirnya seakan ia berusaha mengalirkan rasa sakit secara konduksi kepada benda tersebut. Namun rasa sakit semakin hebat, menggelinjang-gelinjang Elana dibuatnya.

Tak berapa lama bidan pun tiba. Elana masih berjuang menahan sakit tak terkata.Bu bidan heran karena tak ada tambahan bukaan di tempat seharusnya bayi dilahirkan. Segala ilmu sang bidan pun dikeluarkan. Elana lemas nyaris tak bertenaga. Segelas teh manis hangat tuntas dihirupnya. Dalam hatinya Elana terus berdoa, “ Ya, Allah! Mudahkanlah hamba melahirkan secara normal! Hindarkanlah hamba melahirkan melalui operasi Caesar!” Bukan Elana takut atau ngeri dengan pisau-pisau operasi. Ataupun ketakutan terjadinya kegagalan dalam operasi. Tapi, uang yang tersedia tak seberapa. Hanya cukup untuk biaya melahirkan normal saja.

Malam merangkak pasti menuju pagi. Hawa dinginmenyelimuti perkampungan tanpa terkecuali. Dari corong-corong TOA mesjid dan mushollah terdengar azan subuh lantang menyapa. Elana mengejan sekuat tenaga. Bayi yang dinanti-nantipun lahir sudah. Tak ada lagi air ketuban tersisa. “Anakmu cewek! Mukanya jelek!” Bu Bidan memperlihatkan bayi yang sudah rapi itu kepada Elana. “Subhanallah, Salsabila! Itulah namanya, Bu!” Lirih suara Elana. Tak henti-henti diucapkannya Hamdalah setelah Bidan mengatakan bahwa anaknya lahir sempurna. Beberapa butir air bening mengalir di pipinya. Bercampur-campur rasa berkecamuk di dadanya.

Dipojok rumah, terlihat seorang lelaki menangis tersedu-sedu. Bukannya ia tidak bahagia karena kelahiran cucu. Tapi, nasib cucunya yang lahir ini sangat berbeda dengan cucu-cucu lain yang dimilikinya. Tak ada sosok ayah yang bangga akan kelahiran anaknya. Tak ada belaian mesra yang dirasakan anaknya usai persalinan. “Mestinya ayahmu ada disini, Cu! Mengumandangkan iqomat di telingamu.” Bisik Sang kakek lirih di telinga bayi merah Elana. “Allahu Akbar Allahu Akbar…”Iqomat menggema di seantero rumah. Air mata mengalir di setiap kelopak mata yang mendengarnya. Bayi Elana seperti mendengar nyanyian surga, terlelap ia setelah lelah berjam-jam berusaha mencari jalan keluar dari persemayaman lebih dari sembilan bulan.

Emak Elana berkali-kali mencoba menghubungi suami Elana. Sudah sejak tadi malam berita tentang penyambutan kelahiran ini ingin dikabarkan. Namun baru pagi ini terdengar tanda-tanda handphone di ujung sana diaktifkan.

“Assalamu’alaikum! Abdul Rachman, ini emak! Anakmu sudah lahir, perempuan!. Kau pulanglah segera!”

“Ya, Mak! Aku segera akan pulang!” Terdengar jawaban pendek. Tak terdengar nada bahagia dibalik suaranya. Tak ada pula pertanyaan lanjutan tentang kesehatan isteri dan anak-anaknya. Emak Elana menutup panggilan, karena sedotan pulsa untuk sambungan langsung internasional itu begitu mengerikan.

Di seberang lautan, Abdul Rachman tertegun sejenak. Terbayang di matanya akan wajah sendu milik Elana. Sudah lebih enam bulan mereka tak bersua. “Pasti Elana sangat membenciku. Aku suami yang tak tahu diri. Aku suami yang tidak bertanggung jawab, meninggalkan isteri selama masa kehamilan hingga proses melahirkan. Aku tak pernah memberinya nafkah lahir dan bathin. Aku benar-benar manusia tak berguna!”Abdul Rachman mengadili dirinya. Namun tak berselang lama, kembali ditariknya selimut sambil mendekap tubuh muda hangat yang tergolek disebelahnya. “Ah, persetan dengan semuanya!” Bisik hatinya seakan menghapus semua rasa berdosa.

*Cerita ini fiktif belaka. Mohon maaf bila ada persamaan nama dan peristiwa.

Erlina @RSIM, 16 Desember 2011

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline