Lihat ke Halaman Asli

Erlinaagst

Penulis

Sang Penjaga Makam: Mbah Sutar

Diperbarui: 3 Maret 2024   12:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

                                  

                       SANG PENJAGA MAKAM : MBAH SUTAR

-Cerpen, oleh Erlina Agustia

Mbah Sutar mengatakan aku harus menyempatkan diri untuk terus kuat di kehidupan yang sebentar ini. Mbah Sutar juga menasihati ku untuk tidak pernah meninggalkan semua kawajibanku sebagai umat manusia yang hidup hanya tinggal menunggu kematian saja. Nasihat yang terbungkus oleh cerita-cerita pendek dari beliau, dengan ribuan bahkan ratusan kali telinganku mendengar nasihat itu. Tapi aku tidak pernah bosan, justru aku akan mencari Mbah Sutar untuk bercerita kembali.

***
Namanya Mbah Sutar, tubuhnya tua dan ringkih, jalannya juga sudah menggunakan tongkat, terkadang batuk satu atau dua kali yang mampu memecahkan kesunyian pemakaman umum jatilayu di samping rumahku. Ia, samping rumahku adalah kuburan. Di lingkungan pemakaman itu hanya ada dua rumah, rumahku dan juga rumah Mbah Sutar.
Tapi, rumah yang lebih dulu ada dan berdiri di lingkungan pemakaman itu adalah rumah Mbah Sutar dan beberapa warga yang rumahnya jauh dari sana meminta Mbah Sutar untuk menjaga makam di sana. Aku yang tinggal disana cukup senang karena pemakaman yang menurut orang-orang horor justru menurutku tidak setelah aku tahu kalau Mbah Sutar lah yang merawat dan menjaga pemakaman di sekitar rumahku.

''Nduk, tidak ada yang salah menjadi penjaga makam, bahkan Mbah saja kalau di kasih umur yang sangat panjang akan tetap mengurus makam ini. Ini adalah ladang amal Mbah menjelang masuk ke dalam kubur, kematian. Siapa tahu nanti perbuatan Mbah ini mampu dan bisa meringankan beban dosa Mbah dulu. Hidup hanyalah permainan yang akan mendapatkan giliran, siapa yang akan menang dan kalah. Dalam artian menang adalah akan tetap panjang umur dan kalah dalam artian akan meninggal di waktu yang tak terduga, bisa didetik itu, menit itu bahkan di jam-jam tertentu.''

Aku senantiasa merenungkan ucapan dari Mbah Sutar itu. Mulut ku tak henti-hentinya mengucapkan MasyaAllah atas kuasa dan takdir Allah yang sudah tertulis. Kita hanya mampu melangsungkan hidup didunia dan mencari ladang pahala juga untuk berbekal nanti. Ternyata Mbah Sutar adalah orang hebat dimuka bumi ini. Jarang sekali ada orang yang mau menjaga makam tanpa meminta uang atau apapun itu dari warga. Meskipun tua, Mbah Sutar tidak ingin merepotkan semua orang termasuk Aku.

''Dikampung ini Mbah dilahirkan. Dan di kampung ini pula Mbah akan menghabiskan sisa tua Mbah dengan berusaha menjadi manusia yang berguna bagi mereka yang membutuhkan tenaga Mbah, meskipun Mbah sudah tua dan ringkih. Menjadi penjaga makam dan mengurus makam adalah perbuatan baik namun ditakuti oleh orang. Katanya takut ketemu setan!'' Mbah Sutar terkekeh kecil. Mungkin beliau teringat sesuatu kala bercerita tentang perilaku warga sekitar yang menolak dengan alasan 'takut ketemu setan.'

''Seperti Bapakmu juga, Ndok. Dulu Bapakmu sampai kencing di celana waktu nemenin Mbah ronda. Katanya dia ngelihat putih-putih di atas pohon nangka. Eh, waktu Mbah dekati, ternyata itu kain punya Ibumu yang terbang dan nyangkut ke pohon. Coba apa yang terjadi selanjutnya sama Bapakmu?''

Aku pun berfikir sejenak lalu tersenyum tipis. ''Bapak pasti pingsan 'kan Mbah? Meskipun Bapak sudah tahu kalau itu kain punya Ibu?''

Mbah Sutar mengusap lembut pucuk kepalaku. Dengan tawa khas seorang kakek-kakek.
''Betul, Nduk. Bapakmu pingsan dan saat kejadian itu, Bapakmu langsung trauma kayaknya, dia jarang mau waktu Mbah ajak keliling kuburan.''

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline