Perlakuan berbeda itu bukan selalu berarti di anak tirikan
Seorang dokter ahli bedah dengan seorang chef terkenal , sama-sama merupakan pekerjaan yang halal dan mulia, mereka sama-sama memerlukan pisau, namun tentu sangat berbeda pisau yang mereka perlukan, satu untuk membedah tubuh manusia, satu untuk mengiris bahan makanan. Bukankah justru tidak pada tempatnya bila disamakan ?
Pantaskah jika chef itu iri dan menuntut hak yang sama dengan dokter ahli bedah tersebut ?? Tentu tidak.
Apakah berarti chef tersebut lebih rendah kedudukan dan martabatnya di hadapan masyarakat dibanding dengan seorang dokter ahli bedah ? Juga tidak ! Meskipun sekelompok masyarakat mungkin bisa saja berpandangan seperti itu, tapi tidak akan mengurangi martabat dan keberhargaan diri dari yang bersangkutan. Karena diri kita sendiri yang membangun martabat dan keberhargaannya, diri kita sendiri juga yang mengatur dipikiran ini, bukan ??
Orangtua yang memiliki anak dengan kedua panggilan tersebut tentu akan mempersiapkan pendidikan dan menyediakan dana serta segala sesuatunya pasti berbeda. Biaya untuk sekolah kedokteran dengan menjadi chef juga berbeda, perlengkapan dan segala sesuatu yang dibutuhkan juga berbeda. Pantaskah bila salah seorang anak dari orangtua tersebut mengatakan, bahwa orangtuanya menganak tirikan dia, dan berlaku tidak adil lantaran membedakannya ??
Bila kita berkutat pada pendapat bahwa kita dianak tirikan karena diperlakukan berbeda…maka itulah jebakan pikiran kita sendiri. Kita sedang terjebak oleh pikiran dari diri kita sendiri.
Memanjakan pikiran yang menjebak seperti itu, akan menghambat potensi kita berkembang, terpuruk dalam kekecewaan, hilang kebahagiaan, bahkan mengaburkan segala pandangan ke depan yang penuh harapan. ‘Menggagalkan asa tuk diraih’.
Bagaimana bila realita yang dihadapi, orangtua memang lebih fokus dan bangga terhadap anaknya yang sekolah kedokteran daripada yang sekolah jadi chef ?
Apakah kita sebagai anak tidak berhak memiliki rasa iri hati ?
Tentu, bagaimana kita merasa, berpikir dan bertindak itu adalah pilihan. Dan itu tetap hak tiap pribadi. Pertanyaannya, kita mau fokus memilih untuk merasa iri tersebut, atau memilih berpikiran yang lebih positif sehingga dapat merasa dan berespon yang lebih positif serta memberi kebahagiaan ?
Alih-alih berpikir dianak tirikan, mengapa tidak menggantinya dengan berpikir bagaimana menjadi anak tiri yang keren dan membanggakan orangtua dan masyarakat?