Lihat ke Halaman Asli

A Rebellious Woman

Diperbarui: 26 Juni 2015   13:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Waktu hari kartini bulan april yang lalu salah seorang teman mengupdate statusnya di facebook, mengomentari tentang perayaan hari Kartini, intinya menurut dia, ngapain sih Hari Kartini dirayakan, Kartini kan cuma curhat sambil nangis nangis di diary, hebatan cut nyak dien!. Saya berpikir teman saya ini pernah benar benar membaca surat surat kartini tidak sih.
Mungkin kalau saya belum membaca bonus buletin tentang kartini dari majalah femina saya tidak akan terlalu peduli dengan status teman saya ini. Cerita tentang Kartini di Buku sejarah dulu sudah lupa lupa ingat dan kurang mendetail. Dan merasa amazed lagi ketika membaca cerita kartini dari femina. Saya selalu keingetan soal ini, selain saya suka gatel kalau ada sesuatu yang bagus, ya harus dibagi!.

Jauh sebelum Anne Frank nulis diary,lebih jauh lagi sebelum musim ngeblog seperti sekarang ini sesungguhnya kartini telah lebih dulu melakukan hal yang sama yaitu mengungkapkan pemikirannya secara tertulis.

Menulis, sekarang saja tidak semua orang mampu menuangkan pikirannya lewat tulisan. Apalagi untuk ukuran seorang gadis berusia 21 tahun, yang hidup 130 tahun lalu disebuah kota kecil di Pulau jawa di negara yang sedang dijajah. Bahkan pemikiran pemikarannya masih aktual dengan persoalan masa kini. Kartini adalah wanita jenius pada jamannya.

Walaupun akhirnya kartini tidak berhasil mencapai cita citannya dan harus menyerah pada tuntutan adat yaitu menikah dengan pria dan yang sudah menikah dan beranak. Hendaknya kita tidak sinis. Kartini telah berhasil membuat wanita Indonesia untuk mempunyai cita cita setinggi langit dan meraihnya.

Pada saat dipingit Kartini banyak membaca buku dan majalah berbahasa Belanda yang disediakan ayahnya. Sebetulnya ayahnya adalah pria pribumi yang berpikiran maju dan progresif. Menurut Kartini kalau saja ayahnya berani untuk mendobrak tradisi mungkin ia di ijinkan untuk sekolah ke Belanda.

Inilah beberapa petikan dari surat surat Kartini yang menarik:

"Perempuan sebagai pendukung peradaban!bukannya karena di pandang cocok untuk tugas itu.. tapi (karena dari) perempuanlah dapa dipancarkan pengarih besar yang berakibat sangat jauh baik yang bermanfaat maupun yang merugikan. Dari perempuan manusia menerima pendidikan pertama - tama,di pangkuannya anak belajar merasa, berpikir dan berbicara.. Dab bagaimana ibu ibu bumiputera itu dapat mendidik anak mereka kalau mereka sendiri tidak terdidik? (31 januari 1901)

Kartini dan dua adiknya Roekmini dan Rukminah ngotot ingin melanjutkan sekolah. Pada dasarnya ayahnya menyetujui keinginan ketiga anak gadisnya tapi keluarga besarnya menolak keras. Alasannya kalau gadis gadis itu terlalu bebas di khawatirkan tidak ada pria bangsawan yang mau mengambil mereka sebagai istri. Oleh ibu tirinya Kartini dianggap gadis aneh sekaligus kambing hitam. Tapi kemudian sang ibu tiri tidak bisa berbuat banyak karena anak kandungnya Roekmini tak kalah gila.

"Dan sekarang Ibunda tidak dapat menyerang saya (lagi) mengenai kecenderungan liberal saya. Roekmini sama gilanya dengan saya"

Tentang Menghargai perbedaan;

Kami senang sekali bersahabat dengan berbagai bangsa. Hanya dengan (orang) cina kami tidak boleh berhubungan. Itu kehendak ayah dan saya sedih sekali karenanya. Sebab juga bangsa itu ingin saya kenal dengan pandangan murni. Apa yang kami ketahui tentang orang orang Cina yang sering dipandang buruk itu? Kami tidak dapat dan tidak mau menerima bahwa tidak ada sesuatu yang bagus, luhur dan mulia ditemukan di bangsa itu. Tidak kami tidak setuju dengan penghinaan umum terhadap kaum Cina. (14 Desember 1902)

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline