Lihat ke Halaman Asli

Erlangga Danny

Seorang yang bermimpi jadi penulis

Keadilan Hukum yang Terabaikan

Diperbarui: 9 Agustus 2018   11:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Setiap negara yang dinamakan "republik" pastilah ia diperintah oleh hukum. Hukum hanyalah kondisi dari asosiasi sipil. Rakyat mengabdikan diri pada hukum, dan wajib menikmati hak itu oleh karena merekalah yang membuatnya. 

Oleh karena itu diperlukan asas legalitas dalam hukum untuk menjamin kepastian hukum demi tercapainya esensi fundamental dari padanya, ialah sociale rechvaardigheid atau keadilan. 

Namun saat ini penerapan asas legalitas masihlah kabur untuk menjamin kepastian hukum itu sendiri. Dan faktanya perlakuan hukum di lapangan justru akan berbeda ketika berhadapan dengan status sosial dan jabatan seseorang.

Seperti contoh pada kasus Nenek Minah asal Banyumas yang divonis 1,5 bulan kurungan. Kasus ini berawal dari pencurian 3 buah kakao oleh Nenek Minah. 

Untuk datang ke sidang kasusnya ini, Nenek Minah harus meminjam uang Rp 30.000,- untuk biaya transportasi dari rumah ke pengadilan yang memang jaraknya cukup jauh. Pantaskah Nenek Minah dihukum hanya karena mencuri 3 buah kakao yang harganya mungkin tidak lebih dari Rp 10.000,-?

Dimana prinsip kemanusiaan itu? Inikah yang dinamakan Soziale Gerechtigkeit bagi rakyat Indonesia? Dan apabila hal itu terjadi maka seperti apa yang dikatakan oleh Rosseau dalam tulisannya Social Contract, "As soon as it is possible to disobey with impunity, disobedience is legitimate; and, the strongest being always in the right, the only thing that matters is to act so as to become the strongest".

Kemerdekaan ialah suatu golden bridge demi tercapainya keadilan. Untuk terciptanya sebuah keadilan diperlukan sebuah patokan-patokan tertentu agar cita-cita tersebut tercapai. Tanpa itu, maka keadilan hanyalah sebuah idealisme kosong. 

Bila kita memahami bagaimana sila-sila dari masing-masing Pancasila dari mulai sila pertama hingga kelima nampaklah jelas bahwa para founding fathers kita memberikan suatu langkah demi langkah dan patokan sebagai jembatan menuju gerbang yang indah. Dan jembatan itulah yang pada akhirnya tertuju pada sebuah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sebagai permulaan, manusia haruslah berketuhanan sebagai pranata spiritual mereka. Lalu dari memiliki rasa ketuhanan itulah harus diwujudkan dengan rasa perikemanusiaan. 

Manusia ialah homo socius. Homo socius inilah tumbuh menjadi rasa persatuan yang kuat. Bangsa Indonesia timbul dari persamaan nasib dan kehendak ingin bersatu oleh karena pengalaman dijajah oleh bangsa lain. 

Perasaan ini lalu tumbuh menjadi rasa nasionalisme yang kuat. Seorang nasionalis tidak akan disebut nasionalis sejati bila ia tidak memiliki rasa demokrasi di dalam hatinya. Lantas nasionalisme itulah yang disebut sebagai chauvinisme.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline