"huhhfff ...." Bukan suara apa, itu suara hembusan napasku. Lagi-lagi motor yang kukendarai ini bannya kempes. Sudah sekitar tiga kali, setiap aku melewati jalanan ini ban ku kempes, tertusuk paku. Siapa sih yang iseng begini nyebarin paku di jalanan.
Namaku Wahid seorang pekerja kantoran di salah satu gedung pencakar langit di daerah ibu kota. Jangan tanya yang mana, intinya yang tinggi itu.
Waktu itu aku pernah terburu-buru harus ke kantor sudah hampir jam tujuh dan tentunya harus on time kan ke kantor, pas lewat di jalan ini ban langsung oleng, langsung kempes seketika. Ya sudah jika harus telat kali ini, aku sudah pasrah, toh sudah jam tujuh lewat. Kudorong motorku sekitar lima menit akhirnya menemukan tukang tambal ban.
"Kempes di mana motornya, Nak?" Bapak itu bertanya sambil cekatan melepas ban.
"Itu Pak di lampu merah sebelum jalan Niaga. Padahal saya lagi buru-buru sudah ngebut dari rumah, malah kena musibah begini."
Bapak tua itu masih fokus dengan kerjaannya. Sambil menunggu aku menelpon teman kantor, bilang kalau aku akan terlambat soal berkas nanti aku bawakan langsung ke lantai empat.
"Bapak ini sudah lama kerja jadi tukang tambal ban, Pak?"
"Sekitar lima tahun, Nak. Bekerja serabutan. Orang tua macam saya ini kadang harus dipertimbangkan lagi jika untuk diterima kerja meksipun cuma di toko-toko kelontong."
Bapaknya ini terlalu merendah sih. Tapi memang, kalau sudah modelan tua begini jika ingin bekerja di toko, mau jadi apa? Mengangkut beras saja sudah agak kesusahan. Tapi pekerjaan bapak ini sudah lebih dari cukup untuk menyambung hidup. Banyak orang tua sekarang yang malah jadi peminta-minta entah memang kemauan sendiri untuk menjadi seperti itu atau ada alasan lain. Tapi lebih jelas tangan di atas lebih baik dari pada tangan dibawah.
"Sudah, Nak." Lamunanku terputus. Baru juga 15 menit bapak nya ternyata memberikan pelayanan yang super cepat.
"Berapa, Pak," tanyaku.