Lihat ke Halaman Asli

Eri Silvanus

Human Behavior Coach

Facebook, Metaverse, dan Kenapa Orang Bodoh Akan Tetap Tertinggal

Diperbarui: 5 November 2021   09:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Di Indonesia 28 Oktober dikenal sebagai hari Sumpah Pemuda. Tapi lima tahun lagi mungkin 29 Oktober akan dikenal sebagai hari di mana dunia sci-fi mulai menjadi kenyataan.

Bagi yang belum tahu, tanggal 29 Oktober 2021 kemarin Mark Zuckerberg mempresentasikan nama perusahaan baru yang melebur Facebook, Instagram, WhatsApp, yaitu Meta.

Bagi para Marvel & DC fans yang familiar dengan konsep "multiverse", fokus Meta ini adalah menciptakan "metaverse". Ketika artikel ini saya tulis, Meta sudah meluncurkan 8 video singkat yang menggambarkan "Metaverse". Saya tidak tahu bagaimana denganmu. Tapi saya termasuk banyak orang yang langsung tersenyum lebar ketika melihat presentasi visi Mark Zuckerberg ini.

Nah, kalau berita ini adalah berita yang positif kenapa judul artikel ini terkesan negatif?

Saya merasa bahwa jika tidak disadari, perkembangan teknologi yang baru ini akan membuat jurang antara "si bodoh dan si bebal" dengan "si pintar" makin lebar.

Saya akan mengelaborasi pernyataan itu sebentar lagi. Tapi pertama-tama mari kita lihat perkembangan "adult learning" yang jelas terlihat, terutama sejak pandemi ini.

Lebih canggih, lebih keren, tapi belum tentu lebih efektif

Sejak pandemi Covid-19 dunia adult learning tidak luput dari tren belajar berbasiskan video.

Lebih canggih, lebih keren, tapi belum tentu lebih efektif

Sebagai seorang coach dan praktisi learning & development untuk organisasi dan korporat, saya juga bertemu dengan banyak adult learners yang merasa sistem belajar berbasis video ini "keren" dan efektif.

Tapi di sini masalahnya. Untuk memproduksi materi pembelajaran berbasis video yang terasa "modern" dan "keren" ini, dibutuhkan resource yang jauh lebih besar dibandingkan metode yang lebih "tradisional", misalnya seperti e-book. Dan sebenarnya pihak yang menanggung biaya resource ini bukan hanya para "produsen", tapi juga para "konsumen".

Bagi para produsen, jauh lebih cepat dan murah untuk memproduksi puluhan halaman e-book dibandingkan memproduksi sebuah video pembelajaran berdurasi 30 menit yang dirancang dengan baik.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline