Jum'at, 09 Agustus 2019, Provinsi Riau akan menanjak ke usia 62 tahun (1957-2019). Setengah abad lebih. Suatu perjalanan yang tidak bisa dianggap singkat. Pasti telah banyak prestasi yang diraih, namun juga tidak sedikit harapan yang belum terpenuhi.
Ketika Presiden Soekarno menandatangani UU Darurat Nomor 19 Tahun 1957 tanggal 09 Agustus 1957 tentang Pembentukan Provinsi Riau, dapat kita pastikan bahwa ketika itu masyarakat Riau dalam kondisi yang serba tertinggal. Dalam berbagai hal.
Tidak saja karena Riau yang sebelumnya tergabung dalam Provinsi Sumatera Tengah jauh dari pusat kekuasaan, karena pusat kekuasaan ketika itu lebih terfokus di Sumatera Barat. Lebih dari itu, masyarakat di Sumatera, termasuk Riau, direpotkan oleh aksi pemberontakan PRRI.
Meski gagal memisahkan diri dari Jakarta (Jawa), tapi paling tidak (antara lain) karena kasus PRRI, Pemerintah Pusat akhirnya memutuskan untuk memecah Provinsi Sumatera Tengah menjadi tiga provinsi, yakni Sumatera Barat, Riau dan Jambi.
Bagi Pemerintah Pusat di bawah kepemimpinan Bung Karno, dipecahnya Provinsi Sumatera Tengah adalah bagian dari strategi untuk melemahkan perjuangan PRRI. Tapi bagi masyarakat Riau dan Jambi, keputusan ini adalah mimpi yang jadi kenyataan. Tersebab sudah bertahun-tahun masyarakat kedua daerah ini berjuang untuk membentuk provinsi sendiri.
Dari beberapa literatur sejarah, pemecahan Provinsi Sumatera Tengah sebenarnya juga disesali dan ditentang beberapa pihak. Terutama oleh beberapa tokoh PRRI. Apalagi Riau yang dianggap sangat strategis. Alamnya kaya raya.
Dari dulu Riau sudah terkenal akan kekayaan alamnya (SDA). Terutama minyak yang mengalir hampir di seluruh perut bumi Riau. Selain secara geografis memiliki letak yang sangat strategis, karena berbatasan langsung dengan negara tetangga dan berada di tepi Selat Melaka yang menjadi jalur perdagangan dunia.
Namun apa hendak dikata. Lepas dari Provinsi Sumatera Tengah, ternyata Riau dalam perjalanannya tetap berada dalam cengkeraman Pemerintah Pusat. Ibarat kata, satu helai daun pun yang gugur di Tanah Melayu Riau, harus tetap dalam pantauan Pemerintah Pusat di Jakarta.
Tersebab itu jugalah, meski rezim berganti, dari Soekarno ke Soeharto, puluhan tahun berjalan, kekayaan alam Riau yang luar biasa itu hampir tidak ada pengaruhnya bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat Riau sendiri.
Minyak yang bermilyar barel hasilnya mengalir saja ke Jakarta. Hutan yang sangat luas juga dikapling-kapling oleh penguasa ketika itu. Masyarakat Riau tetap bergelut dalam kemiskinan dan keterbelakangan. Bahkan, pembangunan infrastruktur dalam berbagai sektor sempat sangat jauh tertinggal, khususnya dari provinsi tetangga Sumatera Barat.
Runtuhnya Pemerintahan Orde Baru dan bertiupnya angin reformasi pada 1998 ternyata membawa harapan baru bagi Negeri Lancang Kuning. Desakan berlakunya otonomi daerah menguat dimana-mana. Sistem sentralisasi di bawah rezim orde baru dianggap sangat tidak demokratis bagi NKRI yang sangat luas ini.