Dalam beberapa hari ini, jagat perpolitikan di tanah air dihebohkan oleh kasus Ratna Sarumpaet (RS). Informasi terakhir, RS sudah ditangkap oleh pihak Kepolisian di Bandara Soekarno-Hatta sesaat sebelum yang bersangkutan terbang menuju Chile.
RS sebenarnya sudah pantas dipanggil "Nenek" atau "Ompung Boru" bahasa bataknya, karena usianya yang sudah 70-an. Dengan usia yang sudah senja itu, RS sebenarnya bukanlah aktivis kemarin sore. Ia bahkan sudah biasa "melawan" penguasa sejak era Orde Baru. RS pun menjadi tenar sebagai aktivis nasional, kendati kita tidak mendengar RS membawahi suatu organisasi atau LSM tertentu.
Sebagai seorang aktivis, integritas RS selama ini cukup teruji. Karena itu pula RS dihormati kawan dan lawan. RS seperti tidak ada takutnya meneriakkan tentang ketidakadilan dan ketidakbenaran yang terjadi. Meskipun ia harus berhadap-hadapan dengan penguasa. Masih segar dalam ingatan, bagaimana RS berani melawan Pak Luhut (Menko Kemaritiman, Jenderal lho itu) dalam kasus tenggelamnya kapal di Danau Toba.
Bahkan akhir-akhir ini, RS berani berhadap-hadapan dengan Presiden Jokowi. Walau dulu saat Pak Jokowi mencalonkan diri sebagai Gubernur DKI, RS disebut-sebut termasuk salah seorang pendukung fanatiknya.
Apa boleh buat, RS yang dulu dikenal keras, idealis dan tanpa tedeng aling-aling dalam membela kebenaran, kini seperti menggali kuburnya sendiri. RS telah melakukan blunder karena berani mengarang-ngarang berita, bahwa dia adalah korban kekerasan. Padahal mukanya yang bonyok (lebam) itu akibat operasi plastik alias oplas. Karangan indahnya ini pun telah pula menyeret atau mengorbankan orang sekaliber Capres Prabowo Subianto (Jenderal juga lho itu).
Kini, satu per satu "dosa" RS seperti ingin dibuka dan diumumkan ke muka publik. Berawal dari tudingan sebagai penyebar hoax terhebat sepanjang sejarah Indonesia. Berlanjut ke soal nomor rekening pembayaran oplas yang diduga sama dengan nomor rekening donasi/bantuan untuk korban Danau Toba. Asumsinya: jangan-jangan uang yang terkumpul untuk amal itu digunakan RS untuk bayar oplas. Alamaaaak...mudah-mudahan tidak ya Ompung Boru..!
Media kini juga ramai memberitakan, bahwa keberangkatan RS ke Chile untuk menghadiri sebuah konferensi, ternyata dibiayai oleh Pemprov DKI Jakarta. RS menerima sekitar Rp70 juta. Pertanyaan pun muncul, atas dasar apa RS bisa dengan mudah mendapat bantuan sebanyak itu. Lalu, apa kontribusinya bagi Pemprov DKI setelah memberikan bantuan sebesar itu? Dan pertanyaan-pertanyaan menohok lainnya yang pasti merugikan pribadi RS.
Saya khawatir, sebelum RS benar-benar "minta ampun", satu per satu dosanya di masa lalu akan dibuka ke muka publik. Akhirnya hancurlah integritasnya. Habislah karirnya sebagai seorang aktivis. RS tinggal menjadi sejarah kelam. Bahkan hari kebohongannya yang jatuh pada tanggal 3 Oktober 2018 akan diusulkan menjadi Hari Anti Hoax Nasional. Ondeeeh maaaak..!
Begitulah. Ternyata terlalu mudah bagi Tuhan membolak-balikkan keadaan. Hari ini kita mungkin masih menjadi orang yang terpandang di mata manusia. Tapi ingat, andai Tuhan membuka aib dan kebobrokan diri pribadi kita, entah bagaimana pula babak-belurnya kita. Pasti tidak ada manusia yang sempurna. Semua pernah melakukan dosa dan kesalahan. Untuk itu, rasa syukur yang mendalam patut kita haturkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena Dia masih menutup dengan rapi semua aib dan kebobrokan diri kita.
Ya Allah, ampuni kami. Jadikanlah kami orang-orang yang selalu bertobat atas semua kesalahan. Dan tetapkanlah kaki kami untuk selalu berjalan di atas jalan kebenaran-Mu. Amien...Ya Rabbal'alamin...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H