Suatu sore di pusat Ibukota Jakarta, perut terasa lapar. Refleks, saya mencari-cari warung nasi terdekat.
Ternyata tidak jauh dari tempat saya berdiri, ada warung nasi yang populer dengan nama Warteg (Warung Tegal).
Tanpa pikir panjang, saya pun masuk ke Warteg yang persis berada di seberang jalan sebuah hotel berbintang itu.
Tapi offf...jangan berfikir Warteg bisa menyamai atau paling tidak mirip hotel berbintang. Tentu saja kondisi bangunannya sangat-sangat sederhana.
Mirip "Gubuk Derita" dalam video klip lagu H Mansur S. Saya langsung pesan nasi dengan sayur, plus oreg dan telur goreng bulat.
Usai makan, saya bersiap membayar. "Berapa Bu," tanya saya ke Ibu Warteg. "Sepuluh Ribu, Mas," jawabnya lirih.
Ya, di Kota Metropolitan sekelas Jakarta, uang sepuluh ribu yang mungkin saja di mata Anda sudah tidak berguna, masih bisa untuk membeli sepiring nasi plus lauk dan sayur sederhana.
Selesai makan saya pun termenung sejenak. Dalam hati saya bertanya, apa mungkin kondisi seperti ini antara lain yang menjadi parameter atau ukuran bagi Badan Pusat Statistik (BPS) untuk menetapkan bahwa setiap orang yang sudah berpenghasilan lebih dari Rp14 ribu sehari sudah dianggap bukan orang miskin lagi?
Kalau BPS menetapkan orang miskin di Indonesia berpenghasilan di bawah Rp14 ribu, berarti mungkin orang yang berpenghasilan Rp14 ribu (sudah dianggap tidak miskin) bisa menyisihkan sisa uang yang Rp4 ribu lagi untuk sarapan pagi.
Mungkin bisa sarapan pagi dengan nasi uduk plus tempe atau beli mie instan dan rebus sendiri.
Lalu, bagaimana untuk makan malam? Mungkin cukup minum air putih saja agar badan sehat, gula darah normal dan kolesterol tidak naik, hehehe...