Lihat ke Halaman Asli

erisman yahya

Menulislah, maka kamu ada...

Pak Mendagri, Inovasi Itu Baru Sebatas Mimpi!

Diperbarui: 25 April 2018   10:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Seluruh daerah hari ini, Rabu (25/4/2018), menggelar peringatan Hari Otonomi Daerah XXII. Tak terasa, sudah 22 tahun otonomi daerah (otda) berjalan. Otda sejatinya adalah salah satu anak jati reformasi yang "menggema" pada tahun 1998, yang ditandai dengan runtuhnya rezim orde baru (orba).

Rezim orba yang sangat sentralistis, segalanya ditentukan "Jakarta", dinilai tidak lagi pas karena tidak memberikan ruang yang cukup bagi daerah untuk berkembang dan mengembangkan diri. Indonesia dengan ribuan pulau-pulau. Dari Sabang sampai Merauke, dengan berbagai macam suku dan agama, tidak mungkin seluruhnya diatur oleh kekuasaan dari Jakarta.

Sistem otda yang ditandai dengan lahirnya UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, diharapkan mampu memberikan kebebasan dan keleluasaan kepada daerah-daerah untuk berkembang dan berinovasi.

Soal inovasi inilah yang menjadi salah satu poin penting Pidato Mendagri Cahyo Kumolo yang dibacakan dalam peringatan Hari Otda XXII 2018 hari ini di berbagai daerah.

Mendagri dalam pidato tertulisnya mengajak daerah-daerah untuk tidak takut membuat inovasi. Hanya dengan inovasi daerah-daerah dapat maju dan berkembang. Bahkan Mendagri memberi jaminan secara hukum bahwa inovasi tidak bisa dipidana!

Pertanyaan selanjutnya adalah, anggaplah sistem otda telah memberikan ruang yang cukup, tapi apakah sistem perpolitikan yang saat ini berjalan kondusif bagi daerah-daerah untuk membuat terobosan yang disebut inovasi itu? Inilah menurut hemat penulis yang menjadi persoalan mendasar.

Fakta tentang ratusan bupati/walikota dan puluhan gubernur telah masuk penjara, adalah cerminan nyata dari bobroknya sistem perpolitikan di daerah. Kalau setiap bulan atau setiap minggu ada saja kepala daerah (bupati/walikota atau gubernur) yang ditangkap dan dipenjarakan aparat berwajib, apa mungkin akan lahir apa yang kita sebut sebagai inovasi itu?

Mungkin sebagian kita ada yang berpendapat, para kepala daerah yang telah masuk "bui" hanya semata-mata akibat kecerobohan mereka. Tentu persoalannya tidaklah sesederhana itu. Kalaulah yang terlibat kasus hukum itu hanya satu dua orang, dapatlah barangkali kita membuat kesimpulan seperti itu. Tapi ketika itu menjadi massif, apa kita masih juga menyatakan bahwa itu semata-mata akibat kecerobohan? Sangat mungkin ini akibat sistem yang tidak "kompatibel".

Penjelasan sederhananya mungkin begini: Sistem politik kita telah memberikan kesempatan kepada siapa saja untuk maju menjadi calon kepala daerah. Baik dengan menggunakan perahu partai politik maupun perseorangan. Hanya saja cost (biaya) untuk menjadi kepala daerah terasa sangat mahal karena sistem pemilihan secara langsung oleh rakyat dan kekuasaan partai yang terlalu dominan.

Tentu saja, setiap calon ingin dikenal dan mendekatkan diri kepada rakyat agar rakyat berkenan memilih dirinya. Untuk itu, berbagai upaya pun dilakukan, yang semuanya tentu perlu biaya politik. Andai terpilih dan dilantik menjadi kepala daerah, sang kepala daerah tentu berfikir, bagaimana mengembalikan cost yang telah dipakai. Jika baru menjabat satu periode, sang kepala daerah juga harus memutar otak bagaimana mengumpulkan dana untuk pencalonan periode kedua.

Jika mayoritas kepala daerah akhirnya hanya sibuk dengan urusan politik, lalu kapan mereka akan berfikir tentang inovasi? Andaipun ada ide tentang inovasi, pasti juga akan dipertimbangkan secara politik, tidak hanya semata demi untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline