Lihat ke Halaman Asli

erisman yahya

Menulislah, maka kamu ada...

Jokowi Meninggallah seperti Lee Kuan Yew

Diperbarui: 17 Juni 2015   08:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

23 Maret 2015 lalu, rakyat Singapura dan bahkan dunia dikejutkan dengan berita kematian Lee Kuan Yew (LKY), founding father (pendiri) sekaligus bapak pembangunan Singapura. Berita ini tentu saja disambut duka-cita yang sangat mendalam oleh rakyat Singapura, karena LKY adalah orang yang sangat berjasa bagi kemajuan Negeri Singa itu.

Jutaan rakyat Singapura rela antri berjam-jam di Gedung Parlemen dimana jenazah LKY disemayamkan demi untuk memberikan doa dan penghormatan terakhir. Bahkan, saat jenazah LKY meninggalkan Gedung Parlemen untuk proses kremasi pada 29 Maret kemarin, rakyat Singapura terlihat menyemut di sepanjang perjalanan. Ada yang menangis tersedu-sedu. Ada yang berteriak menyebut nama LKY sembari mengacung-acungkan bendera Singapura. Intinya, semua larut dalam kesedihan yang mendalam layaknya ditinggal seorang pahlawan sejati.

Jujur, sebagai orang Indonesia, saya merasa sangat iri. Iri karena kemajuan Singapura kini telah jauh meninggalkan Indonesia, padahal usianya jauh lebih muda (Singapura berdiri pada 9 Agustus 1965). Iri karena Singapura sebenarnya tidak ada apa-apanya dibanding Indonesia yang begitu luas terbentang dari Sabang sampai Merauke dengan kekayaan alam yang luar biasa, tapi kini faktanya masyarakat negeri pulau itu justru jauh lebih sejahtera. Semua kamajuan dan kehebatan Singapura, tentu tak mungkin lepas dari peranan seorang LKY.

LKY sejatinya bukanlah seorang demokratis. Bahkan, banyak yang menyebut LKY sebenarnya adalah tokoh yang otoriter dan pragmatis. Kebebasan berpendapat sangat ia dibatasi. Ia juga berhasil mengkader anaknya sendiri Lee Hsien Loong menjadi Perdana Menteri Singapura saat ini. Bukan lagi rahasia umum kalau banyak perusahaan keluarga LKY juga menguasai proyek-proyek raksasa di Singapura. Tapi, LKY melalui partainya bernama Partai Aksi Rakyat (PAP) berhasil membangun Singapura dari “lembah kemelaratan dan degradasi” menjadi negara industri modern, dan mengangkat ekonomi rakyatnya hingga menjadi yang termaju di Asia Tenggara!

Kini, di saat LKY harus pergi untuk selama-lamanya, jutaan rakyat Singapura pun menangisinya. Saya lalu teringat kepada founding father negeri sendiri. Saya tidak menapikan jasa besar Bung Karno sang proklamator kita. Namun sejarah mencatat, beliau sangat kesepian (diasingkan) di akhir hidupnya. Bung Karno banyak dicaci-maki di akhir masa-masa kekuasaanya. Bung Besar belum berhasil mengangkat rakyatnya dari kubangan kemiskinan dan kemelaratan. Makanya, ketika ia meninggal pada hari Minggu, 21 Juni 1970, ia meninggal dalam keterasingan. Tidak ada yang mengelu-elukannya. Kalaupun ada yang tetap setia, (mungkin) tidak punya keberanian karena bisa-bisa dicap sebagai penentang Orde Baru.

Jenderal Soeharto sang penguasa Orde Baru juga tidak jauh berbeda. Walau di awal kekuasaanya sempat jaya dan disegani banyak orang. Sempat menerima gelar Bapak Pembangunan. Tapi sang Jenderal Besar seolah kena karma. Dulu (kekuasaan) dia yang mengasingkan Bung Karno. Di akhir kekuasaanya ternyata dia juga menerima perlakuan yang hampir sama. Selama 32 tahun berkuasa, ternyata Pak Harto juga belum mampu mengangkat harkat dan martabat mayoritas rakyatnya dari jeratan kemiskinan. Malah korupsi, kolusi dan nepotisme yang menggrogoti hampir setiap sendi pemerintahan. Minggu, 27 Januari 2008, Pak Harto pun meninggal dalam suasana batin yang masih alergi dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan beliau.

***

Sudah hampir 70 tahun Indonesia merdeka, kita masih saja berkutat dengan masalah mahalnya sembako. Harga BBM yang tak menentu. Kadang turun tapi lebih sering naik. Kita masih saja berkutat pada soal perut. Perut lapar di tengah kekayaan SDA yang melimpah-ruah. Akibatnya, kejahatan begal pun marak dimana-mana. Pemimpin yang layak dijadikan contoh juga sulit. Yang nampak hanya keserakahan dan kerakusan. Keserakahan untuk berkuasa. Keserakahan untuk menindak yang lemah.

Tapi, sebagai anak bangsa tentu kita tak boleh berputus asa, pesimis. Harapan untuk lebih baik harus tetap menyala. Dan, harapan itu salah satunya kini ada di pundak Presiden RI Joko Widodo (Jokowi). Meski kini sudah mulai nampak riak-riak kekurangpuasan terhadap berbagai kebijakannya, namun harapan agar Presiden Jokowi benar-benar berpihak dan benar-benar memikirkan nasib rakyatnya supaya juga bisa duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan negara-negara yang maju, pasti masih menjadi harapan seluruh rakyat Indonesia.

Jika Presiden Jokowi berhasil membangun dan menyejahterakan rakyat Indonesia, maka bila suatu hari nanti Pak Jokowi harus pergi untuk selama-lamanya, rakyat Indonesia pasti akan melepas dan menangisi beliau melebihi rakyat Singapura menangisi kepergian LKY. Nama Pak Jokowi akan terukir indah di hati sanubari rakyat Indonesia selama-lamanya. Karena nama yang harum, akan selalu mewangi dan indah untuk dikenang. Ibarat kata pepatah: “harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama”. Nama yang baik akan dikenang, nama yang buruk akan dicela. Wallahu’alam...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline