Lihat ke Halaman Asli

erisman yahya

Menulislah, maka kamu ada...

Ketika APBD Sarat Kepentingan

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika APBD Sarat Kepentingan

Mendagri Gamawan Fauzi akhirnya melayangkan surat peringatan kepada sembilan gubernur yang belum juga menuntaskan pembahasan RAPBD Tahun Anggaran 2014. Sembilan gubernur dimaksud, yakni Sumatera Utara, Riau, Sumatera Barat, Lampung, DKI Jakarta, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Maluku Utara dan Papua.

Melalui surat bernomor: 903/8917/SJ tertanggal 24 Desember 2013, Mendagri memperingatkan bahwa seharusnya RAPBD disahkan paling lambat satu bulan sebelum tahun anggaran baru dilaksanakan. Dengan kata lain, paling lambat pada bulan November 2013, seharusnya seluruh provinsi sudah mensahkan RAPBD untuk tahun anggaran 2014.

Tapi apa hendak dikata, keinginan tidak selalu sesuai dengan kenyataan. Sembilan gubernur tersebut kemungkinan besar sebenarnya sudah selesai menyusun RAPBD. Tapi masalahnya, begitu disampaikan atawa diajukan ke DPRD, mentah. Tidak bisa langsung disahkan. Ternyata masih banyak yang harus diakomodir, dikoreksi dan disesuaikan lagi. Begitu rumitkah? Ya, kira-kira begitu. Karena begitu pembahasan RAPBD sampai di tingkat Dewan, aroma politik dan kepentingan biasanya terasa lebih kental. Apalagi, 2014 disebut sebagai tahun politik, karena pada tahun ini akan digelar Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden. Sementara mayoritas Dewan biasanya juga kembali maju mencalonkan diri sebagai Caleg pada 2014.

Loh, terus masalahnya apa? Masalahnya, Dewan tentu juga sangat berkepentingan, mau diarahkan kemana APBD ini nanti. Sebagai wakil rakyat, para anggota DPRD itu tentu berkewajiban memperjuangkan aspirasi masyarakat yang diwakilinya. Bayangkan saja, seandainya setiap provinsi itu anggota Dewannya sebanyak 60 orang, maka paling tidak akan ada 60 kepentingan. Yang satu ingin jalan di kabupaten A dibangun sesuai aspirasi konstituennya, yang satu lagi ingin agar konstituennya mendapat rumah sederhana layak huni, yang lain lagi ingin itu, ingin ini dan seterusnya. Bahkan mungkin ada juga anggota Dewan yang coba-coba menitipkan kegiatan di salah satu SKPD untuk nambah-nambah modal kampanye. Akhirnya, RAPBD yang nominalnya terbatas, tidak mampu lagi mengakomodir begitu banyak kepentingan!

Apakah itu salah? Mungkin tidak juga. Sekali lagi, sebagai wakil rakyat, para anggota Dewan tentu harus memperjuangkan aspirasi konstituennya. Kalau ia berhasil memperjuangkan, tentu akan menjadi credit point bagi dirinya. Tidak sia-sia masyarakat memilih. Sebagai reward-nya, sang wakil rakyat layak untuk dipilih pada Pemilu berikutnya. Ya, kira-kira begitulah itung-itungan politiknya. Yang salah itu, ya uangnya kurang, coba kalau banyak, tentu kebagian semuanya...(hehehe yang ini becanda aja). Sebanyak apapun dana APBD, kalau semua saling memaksakan kehendak agar kepentingannya yang paling prioritas dan paling utama untuk diakomodir, tentu tak akan pernah cukup. Ya, pengesahan RAPBD menjadi APBD akan selalu deadlock. RAPBD DKI Jakarta TA 2014 jumlahnya mencapai lebih-kurang Rp. 69 triliun, tidak ada apa-apanya dibanding RAPBD Riau yang hanya sekitar Rp7,1 triliun. Tapi DKI deadlock juga. Karena pasti tak cukup juga.

Masalah lebih lanjut dan lebih pelik, kalau RAPBD tidak tepat waktu disahkan, maka tentu akan berpengaruh kepada kinerja pemerintah. Penyerapan anggaran pasti tidak maksimal. Roda pembangunan yang harus digerakkan pemerintah pasti akan terganggu. Uang yang beredar di masyarakat pasti akan tersendat. Bahkan, Pemerintah Provinsi Riau seperti dikatakan Penjabat Gubernur Riau Djohermansyah Djohan terpaksa kehilangan Dana Insentif Daerah (DID) sebesar Rp30 miliar akibat belum disahkannya RAPBD TA 2014. "Kita sudah kena sanksi, tidak dapat DID Rp30 miliar, itu sudah lepas dari tangan," sesal pria yang juga menjabat Dirjen Otda Kemendagri itu kepada pers. Provinsi lain, mungkin mengalami kerugian yang lebih besar lagi. Padahal, dengan uang Rp30 miliar, berapa sekolah yang bisa dibangun, berapa kilometer jalan yang bisa diaspal dan dinikmati oleh rakyat. Hanya akibat ego kepentingan yang saling beradu, rakyat yang jadi korban.

Lalu, kalau kasus seperti ini berulang setiap tahun, apa yang mesti dilakukan? Secara normatif, kita tentu berharap, semua pihak tidak saling memaksakan kehendak. Eksekutif bisa menerima masukan dari Dewan dan Dewan pun percaya kepada eksekutif bahwa uang rakyat bertriliun rupiah itu akan digunakan untuk sebesar-besar kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Tapi kalau hal itu sulit terwujud (maklumlah kini era orang saling tidak percaya, bahkan sama istripun curiga...hehehe), ya barangkali Mendagri (sebagai pengatur sekaligus mediator) harus bersikap lebih tegas lagi. Tegas dalam artian tetap sejalan dengan semangat otonomi daerah. Sikap tegas ditunjukkan semata-mata demi untuk kepentingan rakyat banyak. Wallahu'alam...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline