Lihat ke Halaman Asli

erisman yahya

Menulislah, maka kamu ada...

Demokrasi ala Rakyat Lapar

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kecut hati saya mendengar berbagai macam berita tentang praktik money politics dalam Pemilu 9 April lalu. Boleh dikata, hampir semua caleg melakukannya baik secara langsung maupun tidak langsung. Bila demikian, apakah kita masih pantas untuk berharap banyak kepada caleg-caleg terpilih, yang nanti akan menjadi penyambung lidah rakyat?

Kita mungin tidak sepenuhnya juga dapat menyalahkan sikap para caleg yang “terpaksa” melakukan praktik money politics. Sikap masyarakat yang terlalu pragmatis, kering idealisme, telah mendorong terjadinya politik transaksional. “Hanya karena saya tak bisa bantu beli mesin air untuk sebuah mesjid, akhirnya saya kalah di desa kelahiran saya sendiri,” cerita seorang teman, yang ikut menjadi caleg.

Harus kita akui, meski sudah 69 tahun Indonesia merdeka, tapi mayoritas masyarakat kita masih berkutat soal perut. Besok makan apa. Belum sampai pada strata, besok makan dimana.

Menghadapi masyarakat yang lapar seperti itu, didorong oleh ambisi untuk berkuasa, banyak caleg yang mengambil jalan pintas; ya sudah, penuhi saja apa maunya masyarakat yang penting bisa terpilih. Mau uang, kasih uang. Mau kompor gas, kasih kompor gas. Mau mesin air, mau batu bata, pasir, kain batik, kaos, payung, pokoknya kasih semua. Masyarakat yang lapar sulit diajak berfikir tentang idealisme. Mereka butuh sesuatu yang cepat dan pasti. Yaitu tadi: uang, kompor gas, kaos, dan seterusnya, tanpa mereka pedulikan bahwa nama mereka sebagai rakyat akan tergadai dan mungkin akan diperjualbelikan selama 5 tahun..!

Saya sering bertanya kepada diri sendiri, apa memang seperti ini demokrasi yang kita inginkan? Demokrasi liberal ala barat dipraktikkan di negeri yang mayoritas masyarakatnya masih lapar, apa itu cocok? Barangkali pertanyaan saya ini juga sudah kurang relevan, karena toh kita sebagai bangsa sudah memilih demokrasi sebagai sistem terbaik dalam bernegara. Bahkan, demokrasi itu sendiri sudah pernah pula kita beri embel-embel, ada Demokrasi Terpimpin ciptaan Bung Karno atau Demokrasi Pancasila ciptaan Pak Harto. Tapi ya, bangsa ini begini-begini saja. Mayoritas masyarakatnya masih hidup susah. Secara politik mungkin sudah merdeka, tapi secara ekonomi masih terjajah..!

Suatu ketika, Dirjen Otda Kemendagri Prof Dr Djohermansyah Djohan dalam suatu pertemuan santai dengan sejumlah jurnalis, mengakui bahwa ternyata demokrasi liberal yang saat ini berjalan di Indonesia belum sepenuhnya bisa diterima dan dilaksanakan dengan baik oleh masyarakat kita. Sebab, masyarakat kita masih banyak yang gampang tergoda money politics. Petugas Pemilu mudah tergiur sogokan. Aparat atau penegak hukum juga setali tiga uang.

Perlu waktu dan proses yang panjang, kata Pak Djo, hingga suatu saat nanti masyarakat kita tidak lagi mau disogok, karena taraf ekonominya sudah lebih baik. Mungkin ketika itu, para caleg tidak lagi bisa mengedepankan money politics, tapi adu konsep, adu visi misi tentang bagaimana membangun bangsa dan negara agar lebih maju.

Bila memang begitu adanya, mungkin kita harus menggangap bahwa semua yang telah terjadi adalah suatu proses pembelajaran yang mesti kita lalui, untuk menuju suatu keadaan atau masa yang lebih baik dan menjanjikan di masa yang akan datang, seraya kita semua sebagai anak bangsa terus memperbaiki diri dan bersikap optimis bahwa pada saatnya nanti Indonesia pasti akan menjadi salah satu negara demokrasi terbesar dan termaju di muka bumi…! Insya Allah…

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline