Lihat ke Halaman Asli

Menelusuri Jejak Budaya Tionghoa Di Chinatown, Menumbuhkan Toleransi

Diperbarui: 20 Februari 2017   23:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kuamati sosok yang sedang berdiri di hadapanku. Akhirnya aku melihatnya secara langsung: Asep Kambali, Founder Komunitas Historia Indonesia yang merupakan wadah untuk mempelajari sejarah dengan metode yang menyenangkan. Dengan berapi-api sang sejarahwan ini menjelaskan tentang keberagamn budaya di Indonesia yang membuatku bersyukur terlahir di Indonesia. 

Ia juga menceritakan eksistensi budaya Betawi yang tidak terlepas dari budaya etnis Tionghoa. Hal itu dapat terlihat dari perbendaharaan kata, juga ketika perhelatan pernikahan. Sebuah ilmu yang baru kutahu pagi ini, juga ratusan orang di sekelilingku yang kompak berbusana merah menyala karena hari itu yang bertepatan dengan perayaan Imlek umat Tionghoa. 

Ya, hari ini aku bersama ratusan orang dengan keingintahuan yang besar itu akan bersama-sama berjalan kaki menelusuri seperti apa jejak kebudayaan Tionghoa di Batavia sejak masa kolonial Hindia Belanda. Semuanya tampak bersemangat dan hari ini telah lama kunanti. Untuk aku yang memang tidak bisa diam, belajar tidak harus didalam ruangan seperti yang kulakukan pagi ini.

Setelah mendapatkan pita biru sebagai penanda identitas kelompok, petualangan resmi dimulai. Rute perjalanan yang dipilih sangat unik dan merupakan refleksi nyata bagaimana jejak kental budaya etnis Tiongho dulunya ketika Jakarta masih bernama Batavia. Kami, para peserta yang masih terbilang baru dalam sejarah Jakarta mendengarkan dengan cermat penjelasan pemandu wisata yang menjelaskan trivia di setiap tempat perhentian. 

Dimulai dari Museum Bank Mandiri sebagai titik temu peserta kaki ini lalu melankah menuju Museum Bank Indonesia, Kali Besar, Galeri Melaka, Jalan Tiang Bendera, Pasar Pagi Asemka, Kediaman Keluarga Souw yang merupakan keluarga makmur dan terpandang pada masanya, Bekas Gedung Tiong Hoa Howe Kwan (sekarang menjadi SMA 19 Jakarta), Klenteng Toa Sai Bio, Gereja Santa Maria de Fatima, Yayasan Vihara Dharma Bakti, Pasar Pancoran, Petak Sembilan dan Pusat Kuliner Gloria (yang sayangnya banyak rumah makan tutup karena bertepatan dengan perayaan Imlek). Setiap tempat perhentian dihiasi fakta menarik mengenai keberadaan Tionghoa kala itu seperti Kali Besar yang menjadi saksi kelam pembuangan jenazah etnis Tionghoa yang dibantai tentara Belanda pada masa penjajahan. 

Juga Jalan Tiang Bendera yang mana jalan tersebut berasal dari tradisi Kapten Cina yang mengibarkan bendera di tiang yang ada di atap rumahnya sebagai pertanda dia akan memungut upeti dari warga Tionghoa yang bermukim disitu. Uniknya pajak dipungut berdasarkan panjang rambut dan kuku. Smakin panjang maka pajak kian tinggi karena dianggap orang tersebut adalah orang kaya yang tidak bekerja sehingga sempat memanjangkan kuku. Sungguh fakta unik yang baru saja kuketahui hari ini.

Sepanjang perjalanan menyelami jejak Tionghoa di Batavia pada masa dahulu banyak hal yang kupelajari. Selain pengetahuan yang tidak kudapat di kelas atau buku sejarah masa sekolah kemarin, pagi ini aku menyadari betapa kayanya Indonesia. Indonesia memiliki suku bangsa, etnis dan bahasa yang sangat kaya. Mungkin belum ada negara lain yang menandingi keberagaman Indonesia. 

Tak heran dulu betah sekali para penjajah bercokol di Indonesaia karena sadar betapa besarnya potensi yang ada disini. Di era modern, wisatawan asing tak ragu menempuh ribuan kilometer bertandang untuk menikmati keindahan Indonesia bahkan tak jarang lebih mencintai Indonesia dibandingkan warga negara Indonesia sendiri.

Perjalanan pagi ini membuka mataku tentang pentingnya arti toleransi antar sesama agama, suku bangsa, etnis lain karena semuanya ada di Indonesia. Dan bagaimana Indonesia menjadi negara merdeka dari penjajah juga tak lepas dari peranan beragam agama dan etnis yang rela mengorankan nyawa demi kemerdekaan Indonesia. 

Benar juga apa yang dikatakan oleh Mas Asep Kambali sebelum berangkat memulai berjalan kaki tadi; bahwa perjalanan, pariwisata, pelesir apapun namanya tidak akan ada jika di dunia ini tidak ada perbedaan sejarah dan budaya. Manusia tidak akan melakukan wisata jika Tugu Monas bentuknya sama dengan Menara Eiffel di Paris karena masing-masing negara sudah memiliki menara sendiri. Karena ada perbedaan itulah manusia melakukan perjalanan. Oleh karena itu sangat penting untuk menghargai perbedaan dan tidak bersikap inferior terhadap golongan tertentu.

Selain itu, perjalanan menelusuri sejarah yang dihiasi hujan besar pagi ini juga senantiasa menyadarkan pentingnya menghargai kearifan lokal yang berlaku di suatu tempat. Ketika kita melakukan perjalana, ikutilah peraturan dan norma yang ada di tempat tersebut karena kita adalah tamu yang datang berkunjung. Kalau kita berkunjung ke suatu tempat dan bersamaan degan perayaan ibadah atau acara adat tertentu maka posisikan diri sebagai turis yang bertanggung jawab, jangan sampai keinginan kita untuk berwisata mengganggu prosesi ibadah/kegiatan sakral yang sedang berlangsung. Mari menghargai perbedaan karena budaya akan tetap ada jika kita sebagai manusia melestarikan keberadaannya!

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline