Lihat ke Halaman Asli

Tanah dan Perlakuan Urang Kanekes Terhadapnya

Diperbarui: 3 April 2016   22:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Boleh jadi ini adalah catatan perjalanan yang bangkit dari kubur. Bertahun-tahun hal ini mengendap dan tersimpan di dalam otak saya saja.

Pertama kali saya mengunjungi Kanekes, atau Baduy di Pegunungan Banten Selatan, adalah tahun 1998. Saat itu saya hanya sedang ingin menyingkir saja dari gegas dan riuhnya kehidupan Jakarta.

Saya bisa dengan mudah menjangkau Kaduketug, kampung terluar di wilayah adat Baduy dari jalur timur lewat Ciboleger, lalu merasakan kehidupan yang sangat berbeda dengan keseharian saya. Atau jika ingin lebih dalam, saya kadang menuju kampung Balimbing, mengunjungi kawan pedagang kain dari Baduy, Kang Sarpin, dan menginap di sana. Dan yang paling sering, saya menginap di Gajeboh, di rumah yang paling kerap dikunjungi orang luar lantaran pemiliknya sangat terkenal: Pak Nasinah.

Bergelung di dalam sarung, berlalas tikar di atas lantai pelupuh bambu rumah panggung pendek mereka, saya sangat menikmati kesunyian malam hari. Kesunyian yang membuat saya leluasa mendengar riuh gesekan sayap serangga, aliran konstan sungai Cisimeut yang mengalir di tepi kampung, dan sesekali bunyi burung-burung malam. Rangkaian bunyi yang menciptakan harmoni orkestra alam yang tiada.duanya.

Berkali-kali ke Baduy tidaklah pernah membosankan. Setahun setelahnya, saya mencoba masuk melalui jalur Selatan yang lebih perawan. Melalui Parigi, saya bisa langsung menembus masuk ke Cikeusik, satu dari tiga kampung Tangtu atau Baduy Dalam. Dua kampung Baduy Dalam lainnya, Cikartawana dan Cibeo, saya lewati dalam perjalanan pulang melalui jalur biasanya yang tembus ke Ciboleger.

Di kampung ini, saya menemui bahwa mereka mendirikan rumah di pemukaan tanah yang bergelombang. Meski begitu, saya tidak menemukan ada tanah yang diratakan untuk mendirikannya. Mereka lebih memilih untuk mengatur panjang-pendek tiang demi mendapat lantai rumah panggung yang rata, katimbang menggali atau menimbun gelombang tanah alaminya.

Sampai di titik ini saya merasa kerdil ketika dibandingkan dengan sikap mereka dalam mencintai tanah tempat berpijak dan mencari penghidupan. Mereka begitu lembut memperlakukan bumi, sementara orang-orang yang lebih ’beradab’ memaksa tanah dengan brutal untuk memenuhi kebutuhannya. Bukit dan gunung ditumpas dan diratakan demi mendirikan rumah-rumah masa depan. Tak cukup, kini laut dan pulau pun diurug dan dipadatkan demi hunian yang disebut-sebut berwawasan lingkungan.

Catatan penting yang saya pelajari dari Baduy adalah ajaran turun-temurun mereka pada anak-anak mereka: Panjang tak boleh dipotong, pendek tak boleh disambung. Hidup apa adanya, berdampingan dengan alam dan menjaga kelestariannya.

[caption caption="diambil di kampung Balimbing, tahun 1998. by Erin Cipta"][/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline