Lihat ke Halaman Asli

Belajar Arif dari Kanekes

Diperbarui: 26 Juni 2015   19:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

"PANJANG TAK BOLEH DIPOTONG, PENDEK TAK BOLEH DISAMBUNG"

Mudah sekali mengartikan petuah di atas. Hiduplah apa adanya.

Itulah yang dari dulu, dan sampai saat ini masih dipegang erat oleh sekelompok masyarakat di daerah Banten Selatan. Mereka adalah warga Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten. Atau lebih mudah kebanyakan orang menyebut mereka Orang Baduy.

Tahun 1997 adalah interaksi pertama saya dengan mereka. Pak Utun Leman Kartakusuma, fotografer harian Suara Pembaruan (Sinar Harapan) dan Don Hasman, fotografer tabloid Mutiara yang pertama kali mengenalkan saya pada Urang Kanekes.

Dari pertama kali saya bertemu dan merasakan kehidupan Urang Kanekes, terutama Urang Tangtu (Baduy Dalam), saya sudah merasakan kehidupan yang begitu bersatu bersenyawa dengan alam. Mereka hidup untuk menjaga alam, bukan sekedar memanfaatkan apalagi menguras apa yang alam punya.

Ciri paling menonjol dari mereka adalah pakaian mereka yang hanya terdiri atas baju pangsi putih atau hitam, sarung aros hitam, dan ikat kepala putih, serta tanpa alas kaki. Kerap mereka menyandang kantong kain, tas jaro atau koja dari bahan kulit kayu saat mereka bepergian. Mereka selalu bepergian dengan berjalan kaki. Pantang bagi mereka untuk naik kendaraan. Mereka membiarkan kulit kaki mereka merasakan keras, basah, dingin, dan panasnya tanah yang menghidupi mereka.

Masuk ke perkampungan Baduy Dalam ( Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik) adalah masuk ke tempat penuh kedamaian. Kampung yang tertata natural, tenang, dan bersih. Rumah-rumah mereka adalah rumah panggung bermaterial bambu dan kayu beratap rumbia. Mereka bukan memakai paku, melainkan hanya pasak dan tali untuk menyatukan tiang dan dinding. Dan kontur tanah tempat rumah itu berdiri semuanya utuh. Bila kebetulan sebuah rumah harus berdiri di tanah yang tidak rata, maka bukan tanahnya yang mereka cangkuli untuk diratakan, tapi tiang panggungnya yang dibuat tinggi pendek menyesuaikan kontur tanah aslinya.

Untuk hidup mereka bertani. Menanam padi ladang dengan cara yang sangat sederhana. Tanpa mencangkul ataupun memupuk. Mereka hanya mempersiapkan lahan dengan cara membersihkan, membakar rumput, mengistirahatkan, dan menabur bibit padi begitu saja. Tanah yang mereka perlakukan dengan sangat lembut itu memang selalu memberikan hasil yang cukup. Orang Baduy tidak pernah kekurangan padi untuk makan mereka sehari-hari.

Air untuk konsumsi dan sanitasi mereka ambil dari sungai, atau mata air yang mereka salurkan dengan batang-batang bambu. Sungai dan mata air di Baduy Dalam masih sangat bersih karena mereka tidak pernah mengotorinya dengan detergen dan bahan buatan pabrik. “Sabun” yang mereka pakai adalah Lerak, gigi mereka sikat dengan batang Honje (semacam lengkuas).

Saat malam datang, mereka menggunakan penerangan dengan lentera minyak kelapa, bukan minyak tanah. Nyatanya memang asap yang dihasilkan dari lentera minyak kelapa lebih sedikit dibanding lentera minyak tanah. Tidak ada barang elektronik di kampung itu. Senyap dan damai sangat terasa saat malam. Sayup-sayup musik hanya terdengar sesekali dari petikan lirih kecapi dan tiupan seruling. Enam bulan sekali baru ada musik yang sedikit hingar dari angklung buhun yang mereka keluarkan dan mainkan pada musim tanam padi.

Mengapa mereka hidup begitu bersahaja? Karena mereka yakin bahwa “panceur bumi” atau pusat bumi ada di tanah mereka, dan mereka diutus Tuhan Yang Maha Esa untuk menjaga keutuhan dan kelestarian tanah mereka untuk kelangsungan hidup orang banyak, bukan hanya yang tinggal di kampung itu saja. Hutan Larangan yang ada di tengah desa, pantang mereka tebang pohonnya. Jangankan tebang pohon, ambil kayu atau daunnya pun sama sekali tidak mereka lakukan. Di hutan itulah terdapat mata air sungai-sungai yang mengalir ke desa mereka, bahkan sampai ke luar desa. Keyakinan mereka telah menyelamatkan satu titik sumber kehidupan.

Anda bisa bayangkan seandainya lebih banyak kelompok masyarakat yang berkeyakinan dan berperilaku seperti mereka. Niscaya bumi ini akan semakin hijau.

Itu semua hanya sedikit dari sekian banyak perilaku hidup Urang Kanekes yang begitu menghargai alam, namun banyak sekali pelajaran yang sudah saya dapatkan. Mereka adalah guru saya untuk mencintai alam, guru saya untuk bagaimana saya memperlakukan alam, guru saya untuk tidak semena-mena terhadap alam yang mengidupi kita. Puluhan kali berkunjung ke sana tidak membuat saya bosan merasakan kedamaian hidup di tanah dan masyarakat yang begitu bersatu dengan alam. Berkunjung ke Kanekes adalah bercermin dan introspeksi diri, bagaimana saya sehari-hari berperilaku dan berhubungan dengan alam.

Lama sekali saya belum berkunjung kembali ke sana. Nanti saat anak-anak saya sudah mulai besar, saya akan ajak mereka merasakan tempat yang membuat bunda mereka merasakan damai bersatu dengan alam. Saya jatuh cinta pada tanah Kanekes.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline