Beberapa pekan yang lalu, saya menghadiri acara pernikahan paman saya di Tegal , yang masuk Daerah Banyumas. Saya menginap sekitar dua harian disana, Banyumas bukan hanya wilayah perbatasan yang indah, tapi juga menyimpan fakta dan legenda yang menunggu untuk diungkap. Yok, teman-teman, kita akan menyingkap, beberapa fakta dan legenda seputar daerah yang disebut sebagai Daerah Ngapak ini.
Salah satu sumber tertua mengenai Daerah Banyumas adalah Prasasti Salingsingan yang dikeluarkan Raja Mataram Hindu yang bernama Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala, pada tahun 880 M. Prasasti ini berisi salah satu wilayah terpenting di Banyumas yaitu Handaunan yang saat ini adalah Cilacap. Pada tahun 1500 M, seorang pengembara Sunda yang bernama Bujangga Manik mencatat sebuah daerah bernama Donan Kalicung, Sejarawan Lindasari menduga, Donan Kalicung adalah nama lama bagi Cilacap.
Catatan Bujangga Manik mencatat perjalanan Prabu Jaya Pakuan yang berjuluk Bujangga Manik menjelajahi Pulau Jawa dari Jawa Barat hingga Jawa Timur , dan merupakan salah satu sumber primer mengenai Sejarah Sunda pada abad ke-16 M.
Masih menurut Sejarawan Linda Sari, Wilayah Banyumas pernah menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Tarumanegara dan Galuh yang berbasis di Jawa Barat. Pada 1629 M, Kerajaan Galuh ditaklukkan oleh Kesultanan Mataram dan Kesultanan Mataram berhasil menganeksasi Cilacap. Namun, nama Cilacap baru muncul pada 1726 M, dalam peta Belanda yang dibuat oleh Francois Valentijn. Cilacap, meski termasuk Wilayah Jawa, sangat erat berhubungan dengan Sunda, terbukti dengan namanya yaitu Cilacap, yang mana Ci berasal dari Bahasa Sunda yang berarti air, sedangkan kata Cacab, dalam Bahasa Jawa Kuno, menurut Zoetmulder, berarti menceburkan diri. Ini berasal dari kebiasaan Masyarakat Cilacap menanam padi di lahan berair.
Nah, berhubung sumber historis yang ada terbatas dalam merekam wilayah ini, maka muncullah kisah legenda yang merekam asal-usul wilayah ini. Salah satunya adalah Babad Pasir yang mengaitkan wilayah ini dengan Prabu Siliwangi, Raja Pajajaran.
Dikisahkan bahwa Prabu Siliwangi memiliki seorang putra yang bernama Raden Kamandaka. Kamandaka datang untuk mencari jodohnya di Pasirluhur, dan saat itu dan akhirnya, Kamandaka berbuat tidak senonoh terhadap putri Adipati Pasirluhur. Adipati Pasirluhur kala itu yang bernama Kanda Daha marah dan memerintahkan prajuritnya mengejar Kamandaka.
Kamandaka berhasil pulan dan bertemu adiknya yang bernama Banyak Ngampar. Prabu Siliwangi ketika itu sudah tua dan berniat untuk turun tahta. Namun, istri Prabu Siliwangi yang berasal dari Banten, meminta agar putranya, Raden Banyak Belabur yang naik tahta. Prabu Siliwangi mengadakan sayembara bagi Raden Banyak Belabur dan Raden Kamandaka alias Banyakcatra. Bahwa, siapapun yang mampu menemukan empat puluh putri kembar, akan dijadikan Raja Pajajaran. Namun, Babad Pasir mencatat bahwa Kamandaka akhirnya gagal melakukan syarat tersebut,dikarenakan Kamandaka ditusuk adiknya, Banyak Ngampar dengan tipuan dan tubuhnya terluka, sehingga tidak memenuhi syarat menjadi Raja Pajajaran.
Namun, kisah ini jelas bukan kisah historis. Kisah ini, baru muncul jauh setelah runtuhnya Kerajaan Pajajaran. Yaitu, diterbitkan pada 1898 M, dan jika dikroscek dengan sumber primer, jelas meragukan keaslian kisah tersebut. Karena, Fragmen Carita Parahyangan mencatat bahwasannya sistem kekuasaan pada masa Kerajaan Sunda Pajajaran adalah Tri Tang Tu Di Buana, yaitu Raja atau Prebu/Prabu memegang urusan kekuasaan menjalankan pemerintahan, Rama memegang urusan aspirasi rakyat dan Resi memegang urusan pikiran dan perasaan. Jadi, tidak mungkin Prabu Siliwangi menerapkan syarat bahwa Raja Pajajaran harus mampu membawa 40 putri kembar, karena yang dilihat sebagai syarat menjalankan kekuasaan ya pasti kemampuannya. Tidak mungkin syaratnya seaneh ini, sehingga kisah tentang Banyak Catra atau Kamandaka ini jelas tidak bisa dijadikan rujukan historis, karena bertentangan dengan sumber primer yang lebih kuat.
Kisah serupa juga terdapat dalam salah satu Naskah Wangsakerta yaitu Pustaka Rajya Rajya I Bhumi Nusantara, yang mencatat anak Raja Pajajaran yang tidak disebutkan namanya, yaitu Raden Banyakcatra menjadi Bupati Pasirluhur dan saudaranya, Banyak Ngampar menjadi Bupati Dayeuhluhur, yang masuk Wilayah Banyumas, namun, sebagai sumber sejarah, Pustaka Rajya Rajya I Bhumi Nusantara adalah sumber yang sangat diragukan kevalidannya, menurut Sejarawan Arif Wibowo, kosakata dan tata bahasanya tidak sesuai dengan naskah-naskah Cirebon abad ke-17 M, Sejarawan Nina Herlina Lubis mengatakan bahwa naskah-naskah Wangsakerta adalah salinan yang dibuat pada abad ke-19 M, meski sebagian isi naskah sesuai dengan sumber-sumber sejarah lainnya, naskah ini tetap tidak bisa menjadi rujukan utama bagi penulisan Sejarah Sunda, seperti yang sudah saya bahas, kisah Kamandaka baru muncul pada abad ke-19 M, sedang naskah Wangsakerta yang asli diyakini orang banyak ditulis pada abad ke-17 M. Artinya, bisa jadi saat penyalinan, kisah dari Babad Pasir ini diselipkan dalam Pustaka Rajya Rajya I Bhumi Nusantara.
Menurut saya, kisah ini meski bukan kisah historis, memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi kita semua, bahwa, perbuatan yang buruk, akan menjadi batu sandungan bagi pelakunya untuk mencapai sebuah kesuksesan. Babad Pasir bisa jadi merupakan sebuah novel fiksi sejarah yang ditulis dengan tujuan menghimbau masyarakat di masa itu agar tidak termakan bujukan untuk berbuat keburukan.