Sepekan yang lalu, kanal Youtube kontroversial Sunnah Nabi melontarkan tuduhan yang keji pada Tuanku Imam Bonjol sebagai pemerbudak bangsa dan Kaum Padri sebagai teroris. Apakah hal ini adalah kenyataan? Lantas jika itu merupakan fitnahan, mengapa sampai terjadi Perang Padri yang memakan banyak korban jiwa di Tanah Sumatra? Bagaimana yang sebenarnya terjadi? Dan benarkah seperti itu? Mari simak artikel berikut, dan jangan lupa untuk membaca artikel dibawah ini sampai selesai.
Menurut Sejarawan Christine Dobbin, Perang Padri ini tidak berlangsung tiba-tiba saja tanpa ada penyebabnya. Awal dari Perang Padri justru adalah upaya seorang ulama yang bernama Datuk Bendahara yang menyerukan para pemimpin lokal di Tanah Minang untuk menghentikan pertarungan jago, perjudian, dan minuman keras. Namun terjadi perlawanan dari salah satu pemimpin lokal ini yang memicu bentrokan fisik dengan para pengikut Datuk Bendahara.
Jadi darisini aja udah jelas ya, kalau Perang Padri samasekali bukan tindakan terorisme melainkan para ulamalah yang diserang lebih dulu oleh penguasa lokal. Dan wajar saja sih mereka membela diri untuk tujuan itu.
Dan juga, para ulama yang dikenal sebagai Kaum Padri ini melakukan pencegahan atas kebiasaan-kebiasaan buruk tersebut bukan tanpa alasan. Minuman keras melemahkan suatu bangsa sedangkan kala itu Bangsa Minangkabau sedang menghadapi ancaman yang besar dimana Penjajah Inggris berupaya menguasai pesisir Minangkabau dan jelas jika penduduk lokal dibiarkan terbiasa mabuk-mabukan, mereka akan menjadi lemah ketika harus melawan penjajah.
Dobbin mencatat pada 20 Juli 1818 M, Raffles, Letnan Gubernur Inggris menandatangani Perjanjian Solok dengan desa-desa di Lembah Solok yang isinya tanah pesisir barat Minangkabau harus diserahkan kepada Inggris. Menurut Dobbin, perjanjian itu merupakan masalah yang sangaat besar disebabkan hal ini adalah salah satu pergolakan yang dihadapi Bangsa Minangkabau di bidang ekonomi.
Perlu kita bahas dulu asal-usul Gerakan Padri ini supaya kita tidak salah paham dan mendapat frame berpikir yang lengkap tentang bagaimana keadaan kala itu.
Jadi pada 1803 M, 3 jemaah Haji Minangkabau kembali ke tanah airnya setelah berhaji ke Makkah dan menyaksikan pendudukan Wahabi disana. Antara lain yang kembali itu adalah Haji Miskin. Dan keadaan di Tanah Minangkabau ketika itu sangat kacau, terutama di Daerah Pandai Sikat dimana masyarakat suka sekali mabuk dan menghisap candu yang seringkali menimbulkan perkelahian dan perampokan. Haji Miskin pun berupaya berdakwah memperbaiki kehidupan disana, seruannya tidak didengar dan Haji Miskin terpaksa membakar balai Pandai Sikat.
Kalau ada yang nanya, lho kok kejam banget? Sampai dibakar tempatnya? Saya jawab kala itu masyarakat disanalah yang mengganggu ketertiban dengan mabuk dan menghisap candu serta berkelahi dan merampok. Jika itu tidak dihentikan, maka ketertiban umum akan terganggu. Akan banyak orang yang menderita dan merasa tidak aman karena diganggu para penjahat serta pemerintah setempat pun tidak melakukan upaya untuk mengamankan tempat tersebut. Tapi di masa modern teman-teman tidak perlu melakukan hal serupa ya, karena teman-teman bisa melapor ke polisi setempat yang ada di daerah teman-teman.
Dobbin juga mencatat bahwa Kaum Padri terkadang melakukan serangan bersenjata ke daerah-daerah yang tidak menuruti ajakan mereka untuk kembali ke Islam yang murni. Bahkan disebutkan wanita-wanita dijadikan budak oleh Kaum Padri, tapi Kanal Sunnah Nabi menyalahkan ini semua perbuatan Tuanku Imam Bonjol. Padahal peristiwa ini terjadi jauh sebelum berkuasanya Tuanku Imam Bonjol sebagai Pemimpin Padri. Jelas bahwa Kanal Sunnah Nabi mengutip sepotong-sepotong demi membenarkan klaim bahwa Islam adalah teroris.
Pun, kenyataannya yang dilakukan Tuanku Imam Bonjol jauh berbeda dari yang dilakukan pendahulunya itu. Bahkan Tuanku Imam Bonjol bersedia melakukan langkah perdamaian.