Lihat ke Halaman Asli

Dari "Dishwasher" Menjadi Profesor

Diperbarui: 26 Juni 2015   04:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi seorang dishwasher di restoran (sumber: http://restaurantsecuritycameras.com/)

[caption id="" align="aligncenter" width="500" caption="ilustrasi seorang dishwasher di restoran (sumber: http://restaurantsecuritycameras.com/)"][/caption] Terdengar seperti judul sinetron dimana, misalnya, seorang pengamen 'disulap' menjadi seorang milyuner dalam kurun waktu singkat. Entah karena bertemu seorang produser saat mengamen atau karena bertemu seorang perempuan kaya yang terpincut suara emasnya si pengamen. Pokoknya klise. Namun, yang satu ini benar adanya , karena inilah pengalaman pribadi. Ya, kebenarannya memang tidak 100 persen karena saya belum jadi profesor. Tapi, paling tidak, tajuk di atas merefleksikan perjalanan hidup saya mengembara di negeri Paman Sam. Bermodalkan beasiswa Fulbright untuk melanjutkan sekolah ke jenjang master, saya berangkat meninggalkan tanah air pada 20 Agustus 2007. Alhamdulillah, istri bisa menemani beberapa bulan kemudian. Menjadi fulbrighter memang begitu prestisius. Betapa tidak, titel sebagai scholar otomatis disandang. Plus, biaya pendidikan dan jaringan internasional sudah menjadi jaminan. Tapi itu semua hanya berlangsung sebentar. Dua tahun saja untuk menyelesaikan program S2. Biasanya, pihak Fulbright tidak akan berkenan memperpanjang program karena komitmennya untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada setiap orang. Alhasil, saya memperpanjang program (baca: melanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi) dengan bermodalkan beasiswa kampus. Saya didaulat menjadi asisten dosen dengan tugas menemani profesor di kelas dan menilai tugas serta ujian mahasiswa. Satu hal yang terbilang baru karena sebelumnya saya tidak diharuskan bekerja ketika menerima beasiswa Fulbright. Waktu itu, pekerjaan saya cuma satu, belajar. Sekarang, saya harus mengatur waktu untuk mengajar sekaligus belajar. Tahun pertama menjadi asisten, saya agak kewalahan. Bagaimana tidak, tugas mengajar harus bersaing dengan tugas kuliah yang saya ambil. Istri pun tidak luput meminta porsi waktu dan perhatian. Apalagi setelah hadir si kecil di tengah-tengah kami. Hidup menjadi benar-benar 'hidup'. Begitu terasa hectic. Awalnya, saya begitu senang mendapat beasiswa teaching assistantship ini karena secara nominal tunjangan per bulannya lebih besar dari Fulbright. Rupanya, angka yang besar itu masih kasar, belum terpotong pajak federal dan negara bagian. Juga belum dipotong biaya keanggotaan organisasi asisten dan asuransi kesehatan. Ujung-ujungnya, jumlahnya tidak jauh beda. Apalagi, dengan skema assistantship, ternyata saya masih tetap membayar biaya pendidikan di luar SPP semisal biaya komputer, biaya Gym, biaya klinik, dll. Sebagian besarnya jarang saya gunakan. Di kemudian hari, saya baru menyadari bahwa beasiswa dari kampus ini hanya untuk 10 bulan. Dengan kata lain, beasiswa ini diberikan hanya ketika ada kegiatan perkuliahan di kampus. Jauh berbeda dengan Fulbright yang memberikan beasiswa sepanjang tahun selama kita beraktivitas secara akademik. Artinya, selama dua bulan di musim panas saya tidak menerima beasiswa. Apa saya mesti mencari pekerjaan lain? Bagaimana kalau tidak dapat? Apa saya harus mengandalkan tabungan selama ini? Gawat kan? to be continued ....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline