[caption id="" align="aligncenter" width="614" caption="Inilah rektor Ohio State University yang bergaji terbesar di AS."][/caption] Di tengah gelombang krisis ekonomi di Amerika Serikat yang nampaknya belum begitu mereda, isu berkait pemotongan anggaran pemerintah dan instansi publik yang salah satu pemasukannya berasal dari uang pajak selalu menjadi topik pembicaraan hangat. Mengapa demikian? Karena di tengah besarnya defisit anggaran kampus dan besarnya biaya operasional, pilihan yang tersedia begitu dilematis. Salah satu opsi adalah menaikkan SPP. Tapi, opsi ini kurang realistis karena beban masyarakat akibat krisis sudah cukup berat. Opsi alternatif yang diambil sebagian besar instansi pemerintahan adalah pemotongan anggaran. Terkait pemotongan anggaran kampus, khususnya di kampus Universitas Iowa, banyak area yang terkena dampak langsung. Misalnya, sejumlah program studi yang sepi peminat terpaksa ditutup. Ratusan asisten dosen pun dirumahkan. Bantuan dana penelitian disunat. Dan, masih banyak dampak 'kurang menyenangkan' lainnya. Wacana yang sempat diangkat publik adalah pemotongan gaji rektor atau penundaan kenaikan atau bonus. Mengapa gaji rektor? Karena jumlahnya cukup besar. Berdasarkan laporan Chronicle.com, sebuah situs majalah pendidikan tinggi, rata-rata pendapatan (gaji, bonus, dll.) rektor universitas negeri medio 2009-2010 adalah $375,442 per tahun. Atau sekitar 3 milyar rupiah (kalau hitungan matematika saya masih benar =). Rektor yang tercatat menerima pendapatan terbesar adalah E. Gordon Gee, rektor Ohio State University, dengan angka 1,3 juta dollar (atau sekitar 10 milyar rupiah). Perlu dicatat, angka-angka ini adalah penghasilan bersih setelah pajak. Penghasilan kotornya jauh dari angka-angka di atas. Salah satu argumentasi yang dipakai oleh pihak kampus untuk menjelaskan besarnya gaji yang diberikan kepada rektor adalah proporsionalitas. Menurut mereka, gaji rektor hanyalah elemen kecil dalam anggaran kampus yang luar biasa besarnya. Kampus Ohio State, misalnya, memiliki anggaran per tahun sebesar 4,8 milyar dolar per tahun. Selain itu, kampus negeri dipaksa harus terus kompetitif dengan kampus swasta yang tentunya menggaji rektornya lebih dari kampus negeri. Jadi, sekalipun terlihat besar, gaji rektor kampus negeri sebenarnya masih tertinggal jauh dibanding gaji kampus swasta. Belum lagi urusan kompleksitas kerja dan beban tanggung jawab rektor yang semakin membesar yang harus berbanding lurus dengan penghasilannya. Kalau berkaca pada kondisi di tanah air, nampaknya kita masih ketinggalan jauh. Sebagian besar pendanaan kampus negeri masih bertumpu pada anggaran pemerintah baik dalam bentuk subsidi atau hibah. Sementara, pemasukan dari SPP sepertinya belum begitu besar dalam hal persentase. Masih jauh dibandingkan persentase pemasukan SPP di kampus-kampus negeri di AS. Alhasil, gaji rektor sepertinya tidak cukup besar (ukuran ini sangat relatif), tak sebanding dengan beban yang harus dipikulnya. Makanya, tidak heran kalau sejumlah rektor merangkap jabatan sebagai konsultan atau profesi lain di luar kampus, mungkin untuk mendongkrak penghasilannya. Kalaulah (melamun), rektor-rektor di tanah air kita dibayar layaknya rektor-rektor di sini, sepertinya mereka tidak perlu 'memroyek' di luar karena kebutuhannya sudah bisa dipenuhi dari gaji kampus. Mungkin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H