Lihat ke Halaman Asli

Polisi Tidur di Amrik

Diperbarui: 26 Juni 2015   08:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Polisi tidur sungguhan (sumber: http://2.bp.blogspot.com/)

[caption id="" align="aligncenter" width="592" caption="Polisi tidur sungguhan (sumber: http://2.bp.blogspot.com/)"][/caption] Polisi tidur merupakan salah satu marka jalan berupa semen atau aspal yang ditinggikan dan dipasang melintang. Tujuannya satu yakni untuk membatasi atau memperlambat kecepatan pengguna jalan, dalam hal ini pengendara kendaraan bermotor. Laiknya polisi sesungguhnya, 'polisi' yang satu ini berkeliaran di mana-mana, terutama di wilayah pemukiman dan perkampungan. Jenisnya secara umum terbagi dua: resmi dan gadungan (baca: tak resmi). Yang resmi yang dibuat oleh pemerintah (dinas bina marga atau dinas perhubungan). Biasanya dibuat di atas jalan pemerintah. Yang gadungan dibuat atas inisiatif masyarakat sekitar untuk menjaga keselamatan warga, utamanya anak-anak yang doyan main di luar rumah atau di jalanan. Polisi tidur jenis kedua ini dilaporkan sering menjadi penyebab kecelakaan bermotor karena ketinggian (atau kelandaian)-nya sering berlebihan. Sebenarnya, kalau mau objektif, pengendara pun patut disalahkan dalam kasus semisal ini karena selain sering mengebut, motor yang dipakainya pun kadang tidak standar. Bayangkan saja motor yang suspensinya sengaja dipotong demi gaya dan mode sehingga mesin motor dekat dengan tanah harus melewati jalan penuh dengan polisi tidur. Pasti sengsara si pemilik motor seperti ini. Di perkampungan, bertebarannya polisi tidur ditenggarai disebabkan karena banyaknya ojeg yang kerap mengebut. Demi mengejar setoran, tukang ojeg ini tidak mengindahkan keselamatan warga sekitar. Di kampung saya, tidak jarang terdengar warga tersenggol bahkan tertabrak ojeg yang selain ngebut, juga mematikan mesin dalam pudunan. Katanya untuk menghemat bensin. Padahal resikonya besar. Warga yang akan menyebrang tidak tahu bahkan ada motor mendekat sehingga tabrakan tidak terelakkan. Akhirnya, untuk mengantisipasi kejadian ini, warga kampung saya membuat polisi tidur (gadungan). Ketinggiannya proporsional, hanya memang tidak ada izin. Saya juga tidak paham apa ada perizinan soal pembuatan marka jalan seperti ini. Efek dari polisi tidur ini bisa terasakan dengan cepat. Para pengendara motor teristimewa tukang ojeg mulai memperlambat laju motornya, sekalipun mesin tetap tidak mereka nyalakan. Lambat laun, si tukang ojeg ini yang nota bene orang kampung seberang, jadi berang karena kebebasan mereka untuk mengebut merasa terenggut dengan adana polisi tidur. Mereka memprovokasi warga kampungnya untuk berdemo. Tidak tanggung-tanggung, hampir seluruh warganya turun ke jalan dengan membawa senjata seperti parang, golok, pentungan. Apapun yang bisa mereka pegang. Mereka mendatangi kampung saya untuk menghancurkan semua polisi tidur. Untuk menghindari konflik, warga kampung saya berdiam di rumah. Kami sadar betul, tidak ada gunanya melayani orang yang sedang mengamuk. Celakanya, polisi sungguhan tak pernah datang untuk menertibkan, mungkin mereka juga tidur. Sampai detik ini, konflik semacam ini tidak pernah tuntas. Ugal-ugalan pengguna jalan, tidak jelasnya aturan pemarkaan, tidak rasionalnya warga dalam mereaksi, semuanya mewarnai dinamika kehidupan kehidupan kita. [caption id="" align="alignleft" width="400" caption="Polisi tidur di Amrik (sumber; http://farm2.static.flickr.com/)"]

Polisi tidur di Amrik (sumber; http://farm2.static.flickr.com/)

[/caption] Di Iowa (Amerika Serikat), saya tidak pernah membayangkan akan menjumpai polisi tidur karena saya pikir aturan lalu lintas ditegakkan secara tegas di negara yang mengklaim dirinya sebagai polisi dunia ini. Marka yang menunjukkan batas kecepatan terpampang di mana-mana, sampai di jalan-jalan kecil di sudut kota. Kalau saja mencoba melajukan kendaraan lebih dari itu, dan kebetulan ada polisi yang sedang 'menongkrong', siap-siap saja dikejar, laksana seorang napi yang baru melarikan diri. Plus, nanti akan diberi 'tiket' yang mesti ditebus dengan denda yang kisarannya di atas $100.  Sialnya, di sini tidak ada ruang negosiasi, beda halnya dengan di negara kita. Jadi denda mesti dibayar sesuai dengan jumlah sesungguhnya. Rupanya, sangkaan saya salah besar. Ketika hendak berkunjung ke apartemen teman dan melewati sebuah perumahan, speed bumps (polisi tidur) bertebaran di sepanjang jalan. Ketinggiannya proporsional dan lebar, Jarak antara satu polisi tidur dengan yang lain pun tidak terlalu berdekatan, beda dengan polisi tidur yang ada di sebuah perumahan Geger Kalong Bandung yang jaraknya per tiga meter. Pertanyaannya, kenapa mesti ada polisi tidur di sini padahal pengguna jalannya pun sudah relatif tertib dan teratur? Sepertinya, polisi tidur ini dipasang karena lokasi perumahan berseberangan dengan sebuah taman besar yang ramai pengunjung. Sebagai langkah antisipatif untuk mengingatkan pengendara agar memperlambat laju kendaraan. Kembali ke konteks tanah air, tidak bisa dipungkiri polisi tidur ini memang diperlukan sebagai penanda dan pengingat kepada para pengguna jalan terutama  pengendara sepeda motor bahwa mereka harus mengurangi kecepatan. Hanya saja, perlu ada kejelasan peraturan ikhwal ketinggian dan jarak antar marka agar kecelakaan bisa dihindarkan. Peraturannya mungkin saja sudah ada (dan bahkan sudah lama beredar), tinggal penerapannya yang mesti lebih diperhatikan. Tulisan lainnya: Salah Satu Pusat Manula di Amerika Nenek Usia 81 Tahun Ikut Liga Bola Basket Ketika Ngompasiana Baru Sebatas Kewajiban

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline