[caption id="" align="aligncenter" width="500" caption="Pak Husni Husain di rumahnya di Queens (sumber: http://29.media.tumblr.com/)"][/caption] Suatu waktu, ketika sedang asyik mengerjakan tugas kuliah, seorang kolega mengetuk pintu. Dengan antusiasnya, dia bertanya, "Eri, kamu berbicara bahasa Mamuju?" Langsung saja saya jawab tidak karena dengar pun belum pernah. Terus saya bertanya balik kepada dia, "Memang kenapa dengan bahasa itu?" Dia lantas menjelaskan bahwa baru saja membaca sebuah artikel di New York Times bahwa seorang penutur asli bahasa Mamuju 'ditemukan' di kota Queens, New York. Karena tertarik ingin membaca langsung agar informasinya lebih komplit, saya langsung meluncur ke TKP (baca: situs koran yang dimaksud). Ketika lapan terbuka, di sebelah kanan langsung nampak sebuah foto kecil seorang laki-laki berusia paruh baya mengenakan kopiah hitam, salah satu ciri khas orang Indonesia. Beliau bernama Husni Husain. Beliau ini ditenggarai satu-satunya penutur bahasa Mamuju yang tinggal di kawasan New York. Dia menuturkan bahwa dia hanya bisa menggunakan bahasa itu secara aktif dengan saudara laki-lakinya yang tinggal di Indonesia. Itu pun hanya lewat telepon. Dengan istri dan anaknya, dia menggunakan bahasa Indonesia karena istrinya asli Jawa dan anak-anaknya lahir di Jakarta. Bahasa Mamuju sendiri adalah bahasa yang dipakai di bagian barat Pulau Sulawesi. Menurut laporan, penuturnya tinggal 160 ribu orang. Jauh dibandingkan dengan puluhan juta penutur bahasa-bahasa daerah di Jawa semisal bahasa Jawa, Sunda, Madura, dan sebagainya. Bahasa Mamuju ini kabarnya terancam punah seiring dengan maraknya penggunaan dialek Melayu (bahasa Indonesia) di kalangan remaja dan anak muda. Sayangnya, pemerintah nampaknya tutup mata akan fakta yang cukup mengkhawatirkan ini. Tapi, ketidakberpihakan pemerintah terhadap nasib bahasa daerah (bukan hanya bahasa Mamuju) sudah menjadi rahasia umum. Sejak kapan pemerintah kita menunjukkan kepedualian nyata untuk melestarikan bahasa daerah? Kota Queens, tempat tinggalnya Pak Husni sekarang, memang menjadi satu-satunya distrik di New York yang warganya memiliki puspa ragam bahasa. Berdasarkan sensus tahun 2000, paling tidak ada 138 bahasa yang digunakan oleh warga Queens ini. Menurut sejumlah ahli bahasa, di New York sendiri dikabarkan terdapat kurang lebih 800 bahasa, menjadikan New York sebagai kota dengan bahasa terbanyak di dunia, menurut Daniel Kaufman, salah seorang profesor di City University of New York. Meminjam bahasa beliau, New York ini bak hot spot untuk bahasa-bahasa yang terancam menghilang. Melihat potensi banyaknya bahasa, yang sebagian terancam punah, Prof. Kaufman membidani sebuah proyek yang bertajuk Endangered Language Alliance. Misinya adalah mengindentifikasi dan merekam data dari bahasa-bahasa yang akan punah, terutama bahasa-bahasa yang tidak memiliki sistem penulisan, dengan mengambil data langsung dari penutur asli yang tinggal di sekitar New York. Bagi Prof. Kaufman, petulangan akademiknya dalam rangka mendokumentasikan bahasa-bahasa yang terancam punah sering mendatangkan banyak kejutan. Setelah kegagalannya untuk menemukan penutur bahasa Mamuju di Sulawesi pada tahun 2006, dia diundang oleh Pak Husni untuk menghadiri acara pernikahan di rumahnya di Queens. Di luar dugaan, dia berhasil merekam Pak Husni menggunakan bahasa Mamuju dalam acara tersebut. Jadi, untuk pertama kalinya, dia berhasil mendapatkan data natural dimana bahasa Mamuju digunakan dalam konteks nyata. Selain bahasa Mamuju, lembaga yang diprakasai oleh Prof. Kaufman ini pun menggarap pendokumentasian bahasa Garifuna (bahasa yang dipakai di Honduras dan Belize) dan Zaghawa atau disebut juga Beri (bahasa yang dipakai oleh sebuah suku di Darfur, Sudan). Sebenarnya, di tanah air, keprihatinan akan ancaman kepunahan pelbagai bahasa daerah sudah lama digaungkan oleh sejumlah kalangan baik akademisi maupun penggiat budaya lokal. Sejumlah inisiatif untuk memvitalisasi bahasa daerah pun sudah lama digalakkan semisal pengajaran bahasa daerah di sekolah (sebagai muatan lokal), adanya media (seperti koran, majalah bahkan saluran televisi) berbahasa lokal dan lain sebagainya. Sayangnya, yang saya perhatikan, upaya pemerintah (baik pemda maupun pemerintah pusat) untuk menyokong program-program seperti ini secara nyata pun belum terlihat jelas. Kalaupun ada, baru setengah hati. Entahlah, mungkin karena adanya kekhawatiran berlebihan akan tergesernya peran sentral bahasa Indonesia dalam menyatukan bangsa. Tapi, saya pikir, kekhawatiran semacam itu tidak berdasar. Akhirnya, membaca berita seperti ini dimana orang luar begitu getol mencoba melestarikan salah satu bahasa daerah di nusantara, terus terang saya merasa bahagia. Bahagia karena ternyata masih ada pihak-pihak independen yang mempunyai sumber daya untuk mendokumentasikan bahasa kita. Tapi, di sisi lain, saya merasa sedih karena upaya pelestarian itu tidak datang dari pihak dalam negeri. Mudah-mudahan ke depan kepedulian akan pentingnya pelestarian bahasa daerah semakin meningkat yang dibarengi dengan adanya aksi nyata dari berbagai pihak, terutama pemerintah. Sumber: http://www.nytimes.com/2010/04/29/nyregion/29lost.html?pagewanted=all Tulisan terbaru saya lainnya Nenek Usia 81 Tahun Ikut Liga Bola Basket Ketika Ngompasiana Baru Sebatas Kewajiban Bocah Bersenjata Api di Rumah Sakit Kampus Inikah Superhuman Itu? Apa Saya Yang Kuper atau Mereka Yang Ngawur
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H