Lihat ke Halaman Asli

Tiga Bocah Cilik Jadi Mahasiswa

Diperbarui: 26 Juni 2015   08:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1297359575297705978

[caption id="attachment_89995" align="aligncenter" width="561" caption="Inilah keluarga jenius itu (sumber http://www.dailyiowan.com)"][/caption] Suatu saat, ketika dalam cambus, terlihat tiga anak berlari mendekati bus. Dua anak laki-laki seusia anak SD dan satu anak perempuan seusia anak SMP. Dalam benak saya, "Kok ada anak kecil mau masuk bus tanpa dibarengi orang tuanya?" Apalagi waktu itu masih terbilang jam sekolah, jadi mestinya mereka berada di kelas bukan di kampus. Peraturan mengenai pengurusan anak di kota ini (atau mungkin di AS secara keseluruhan) memang terbilang cukup ketat. Sebagai orang tua, kita tidak boleh meninggalkan anak sendiri (di rumah atau di tempat umum) tanpa pengawasan orang tua. Kalau kita ketahuan meninggalkan anak sendiri, bisa-bisa kena hukuman atau denda. Anak-anak tadi pun buru-buru naik ke cambus yang sudah menunggu. Dari wajahnya, sepertinya mereka orang India. Pikir saya, "Ah mungkin mereka baru mengunjungi orang tuanya di kampus. Atau mereka baru datang ke Amerika, jadi sebelum masuk sekolah, mereka menikmati dulu pemandangan kota." Di dalam bus pun, mereka bercanda, lazimnya anak kecil, memperebutkan makanan. Sepertinya, mereka tiga bersaudara. Beberapa hari kemudian, ketika berjalan di koridor gedung tempat saya kuliah, dari kejauhan terlihat salah seorang anak India tadi sedang berbincang dengan seorang mahasiswa Amerika. Dalam benak saya, "Apa yang sedang anak ini kerjakan di kampus ini? Ah mungkin dia sedang main dengan mahasiswa bule itu?" Di luar dugaan, pas saya tepat melewati mereka, terdengar kata kalkulus. Nah lho? Beberapa hari setelah kejadian itu, terbitlah di koran lokal kota sebuah headline soal empat anak jenius yang kuliah di Universitas Iowa, yang rupanya anak-anak yang saya bicarakan tadi. Gohar, 15 tahun (kakak dari ketiga anak tadi), tercatat sebagai mahasiswa S3. Bushra, 12 tahun, Shahid, 11 tahun, dan Zahid, 10 tahun. Semuanya mahasiswa di University of Iowa dalam jurusan Biomedical Engineering. Mendengar jurusannya saja membuat saya merinding. Terbayang betapa sulitnya ilmu terapan perpaduan antara teknik dengan kedokteran. Jurusan yang mungkin hanya ada dalam dunia khayalan atau mimpi saya. Rupanya, keempat kakak beradik ini masih mempunyai saudara laki-laki, yakni Johar, 14, yang merupakan mahasiswa di sekolah kedokteran di Karibia. Bayangkan lima bersaudara dengan usia 15 tahun ke bawah semuanya berada di perguruan tinggi dengan jurusan yang bergengsi. Ruarrrr biasa! Menurut penuturan ibu mereka yang diliput dalam media lokal, Gohar mulai belajar aljabar dan geometri pada usia 6. Usia 8 tahun, ia telah belajar kalkulus. Dan pada 11 tahun, Gohar sudah terdaftar di perguruan tinggi. Adik-adiknya pun belajar hal yang sama di usia yang sangat dini. Ibu mereka keturunan India tapi dilahirkan di Oman. Dia menikah dengan Khalid Manzar, seorang kardiolog yang sekarang bekerja di Kanada. Di rumahnya, mereka berbicara bahasa Urdu (bahasa India dan Pakistan). Sementara Gohar dan ibunya kadang berbicara Hindi dan Arab. Tentunya bahasa Inggris sudah menjadi makanan pokok mereka karena kelima bersaudara ini dilahirkan dan dibesarkan di sini. Kunci kejeniusan lima bersaudara ini, menurut pengakuan orang tuanya, adalah percepatan melalui homeschooling. Orang tuanya bekerja keras mendidik mereka di rumah dan menyertakan mereka dalam kegiatan ekstrakurikuler seperti berenang sebagai ajang sosialisasi dengan teman sebaya mereka. Sebelum mengajari anaknya, Ayah mereka mengajari dulu ibunya untuk mengukur sejauh mana dia bisa mengajar. Tiga tahun setelah meninggalkan sekolah dasar, lima bersaudara ini mengambil tes SAT (semacam tes kemampuan akademik) dengan skor yang menduduki  95 persentil dalam semua mata pelajaran. Dengan nilai setinggi ini, empat dari lima bersaudara ini memutuskan untuk masuk Universitas Iowa. Sementara, Johar yang berusia 14 tahun memutuskan kuliah kedokteran di Windsor University di St. Kitts, Karibia. Kejeniusan kelima bersaudara ini selain tentunya faktor hereditas ditopang oleh sistem homeschooling yang berkualitas. Kegigihan dan kerja keras orang tua mereka dalam mendidik lima anaknya membuahkan hasil yang luar biasa menakjubkan. Di tengah perjuangan orang tuanya dengan urusan keimigrasian Amerika sampai harus dideportasi ke India, mereka masih bisa 'mencetak' anak-anaknya menjadi orang jenius. Sebagai orang tua, kita masih bisa berharap bisa mendidik anak kita agar unggul dalam akademik. Memang salah faktornya adalah keturunan, tapi ingatlah selalu pepatah Albert Einstein: "Genius is one percent inspiration, ninety-nine percent perspiration" (Kejeniusan itu satu persen inspirasi, 99 persen kerja keras). Tulisan terbaru saya Dari Profesor Sampai “Dude” Kirk Ferentz: Seorang PNS yang Bergajikan $3.675.000 Per Tahun Cambus: Transportasi Alternatif Kampus Amerika Dapatkan Color Printer EPSON C88+ Gratis Guru: Pahlawan dengan Tanda Jasa

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline