[caption id="" align="alignnone" width="659" caption="Ini baru profesor asli, beda dengan saya (sumber: http://byunews.byu.edu)"] [/caption] Sebagai dosen muda di kampus UPI Bandung, panggilan mahasiswa terhadap saya begitu beragam. Mulai dari akang (panggilan untuk orang lebih tua atau dituakan dalam bahasa Sunda), Aa (hampir sama dengan akang tapi tingkat emosionalnya lebih dekat semisal adik kepada kakaknya) dan bapak (panggilan lazim). Panggilan Aa bisa dibilang paling jarang. Hanya beberapa orang yang 'berani' menggunakan panggilan itu di kelas. Mungkin karena merasa dekat dengan saya. Tak tahulah apa motivasi mereka sebenarnya. Keberagaman panggilan ini, salah satunya, disebabkan oleh dekatnya jarak usia antara saya dengan mahasiswa yang saya ajar. Bahkan, kerap kali saya mengajar teman saya sendiri (teman seangkatan) yang, karena satu dan lain hal, masih bertahan di kampus. Nah, 'jenis' terakhir ini yang acap kali membuat saya geli. Di luar perkuliahan, mereka memanggil nama saya karena memang teman seangkatan. Namun di dalam kelas, saya bisa menyaksikan kecanggungan mereka dalam memanggil saya bapak. Ketika dipercaya menjadi asisten pengajar di Universitas Iowa, AS, semua panggilan ini otomatis hilang, karena sebagian besar mahasiswa memanggil dosennya dengan nama pertamanya. Terus terang butuh waktu setahun bagi saya untuk bisa dengan ikhlas tanpa beban di hati memanggil profesor saya dengan nama panggilannya. Selama tahun pertama, saya selalu menyisipkan kata "Prof." baik dalam komunikasi lisan maupun tulisan. Rasanya lebih pas di hati. Walaupun terdengar agak janggal dalam konteks budaya di sini. Semester pertama saya mengajar, mahasiswanya semuanya orang Amerika. Sudah pasti mereka memanggil nama pertama karena itu bagian dari budaya mereka. Akan terdengar aneh kalau mereka memanggil saya 'Sir', karena pada dasarnya saya dan mereka berada dalam generasi yang sama. Namun pernah, ada seorang mahasiswa Amerika yang dengan entengnya memanggil saya "dude". Pada saat itu, jujur saja, saya merasa agak sedikit tidak dihormati karena sapaan "dude" lazimnya digunakan antar teman dekat dan secara register begitu non formal. Tapi, saya buang jauh-jauh semua perasaan itu dengan berpikir positif. Mungkin saja si mahasiswa tersebut merasa dekat dengan saya. Siapa tahu kan? Ketika mengajar mahasiswa internasional yang berasal dari berbagai negara yakni China, Korea, Vietnam, Meksiko, sapaan mereka kepada saya pun berlainan. Sebagian memanggil saya profesor, yang membuat saya tersanjung. Ada juga yang memanggil saya "Mr. Kurniawan" dan "teacher". Nah, yang terakhir ini terdengar agak aneh di telinga, karena secara budaya tidak pas. Mana ada mahasiswa Amerika memanggil dosennya "teacher". Tapi, saya teringat dengan kebiasaan orang kita yang memanggil guru dengan sapaan "pak/bu guru". Mungkin saja, di negara asal mereka panggilan serupa merupakan tuntutan budaya. Sebenarnya, di awal perkuliahan, ketika memperkenalkan diri, saya selalu menghimbau mahasiswa saya untuk memanggil saya dengan nama pertama "Eri", karena sapaan itu terdengar lebih dekat dan akrab serta terasa lebih egaliter. Namun, seperti halnya saya di tahun pertama, ada sejumlah orang yang merasa tidak nyaman dengan memanggil dosennya dengan namanya, karena bisa jadi budaya ibu mereka tidak memperkenankan hal demikian. Hal-hal yang nampaknya sepele dan sederhana ini cukup menarik untuk dikaji. Bagaimana budaya ibu begitu lekat menjadi bagian dari pola sikap dan tindak kita sehingga tradisi atau kebiasaan kita terbawa terus ketika kita bersentuhan dengan budaya orang. Karenanya, agak naif kalau ada orang yang hidup di negeri seberang dengan cepatnya lupa akan budaya asalnya dalam hitungan minggu atau bulan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H