Lihat ke Halaman Asli

Birokrasi Ala Indonesia di Amerika

Diperbarui: 26 Juni 2015   09:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="550" caption="Sumber: http://www.unusualphobias.com/Bureaucracy.jpg"][/caption] Bagi saya pribadi, birokrasi di bumi pertiwi sudah menjadi momok atau mimpi buruk dalam setiap urusan. Betapa tidak, urusan yang mestinya cepat dan mudah dibuat lambat dan susah. Makanya, sudah menjadi pengetahuan umum bahwa birokrasi bermotokan, "Kalau bisa dibuat susah, kenapa dibuat mudah." Belum lagi urusan uang. Ada istilah pelicin, amplop dan lain sebagainya. Saking 'wajibnya', staf birokrasi sudah kehilangan rasa malu meminta uang 'administrasi' secara terbuka tanpa kuitansi, karena semua orang tahu itu tidak resmi. Wajar kalau kemudian negara kita menduduki peringkat tinggi ikhwal korupsi. Ya itulah realitas sosial di negara kita. Menyedihkan memang. Siapa sangka birokrasi ala Indonesia ini bisa ditemukan di negeri kampiun demokrasi ini. Ya tidak separah di Indonesia. Tidak ada istilah amplop atau pelicin. Tapi urusan lamban dan rumit, tidak beda jauh. Paling tidak berdasar pengalaman pribadi saya. Minggu-minggu awal saya tinggal di Amerika, saya sudah disodori seabregan dokumen. Mulai dari petunjuk membuka akun email, bank, registrasi kelas sampai ke urusan lapor diri dan sejenisnya. Salah satu dokumen yang saya terima adalah tagihan SPP. Nah lho! Katanya dibayar oleh pemberi beasiswa? Ternyata, pemberi beasiswa mengirim cek untuk kemudian saya bayarkan ke kampus. Nah, masalahnya jumlah uang di cek hanya setengah dari tagihan SPP yang harus saya bayar. Saya masih ingat bahwa tagihan berkisar 10 ribu dolar (untuk satu semester) sementara uang yang tertulis di cek hanya sekitar lima ribu dolar. Itupun sebenarnya adalah cek untuk stipend, tunjangan akomodasi, uang untuk buku dan komputer dan uang asuransi. Tidak ada jatah untuk membayar SPP. Setelah dilaporkan ke pihak pemberi beasiswa (Fulbright), mereka hanya angkat tangan. Malah meminta saya menyelesaikan urusan ini langsung dengan kampus, karena katanya untuk SPP ditanggung kampus. Tambah jelimet, kan? Jadi, siapa yang mesti bayar SPP? Kalau memang kampus, kenapa ada tagihan? Setelah dikonfirmasi, ternyata eh ternyata, ada kesalahan. "Salah menekan tombol keyboard," kata staf administrasi kampus dengan gampangnya. Ternyata, tagihannya seharusnya tidak sebesar itu karena status saya mahasiswa penerima beasiswa. Harusnya hanya sepertiganya. Jumlah itu hanya diperuntukkan bagi mahasiswa asing tanpa beasiswa (berarti mahasiswa asing termasuk dari Indonesia yang kuliah di sini dengan biaya sendiri kekayaannya luar biasa karena untuk membayar SPPnya saja harus mengeluarkan uang paling tidak 100 juta per semester. Belum biaya hidup dan lain sebagainya.) Tetap saja saya tidak akan mampu untuk membayar SPP sekalian tagihannya hanya sepertiganya. Rupanya, kampus seharusnya mengirimi saya cek untuk membayar SPP karena berdasarkan kesepakatan Fulbright dengan kampus, kampuslah yang membayar SPP saya. Mendengar itu, saya sedikit lega. Dasar namanya birokrasi, ternyata uang untuk SPP tidak bisa diterima langsung, tapi harus dicicil selama 10 bulan. Nah, pertanyaannya bagaimana membayar tagihan tadi? Menurut staf kampus, ya gunakan dulu uang pribadi karena akhirnya juga akan terganti. Pikir sederhana saya, kalau kampus bertanggung jawab membayar SPP saya, mengapa tidak dibayar langsung saja? Kan tidak ada bedanya? Tapi ya namanya juga birokrasi. Beberapa minggu kemudian, masalah lain datang. Lagi-lagi saya menerima tagihan. Kali ini untuk asuransi. Padahal saya sudah mendaftarkan diri dalam asuransi kampus untuk melengkapi asuransi dari Fulbright. Jadi, secara teknis, saya mempunyai dua asuransi, tapi toh saya masih dikenai tagihan. Setelah saya selidiki, lagi-lagi kesalahan administrasi. Ampun!!! Di tahun kedua perkuliahan, masalah serupa menyapa saya. Ketika mengecek akun tagihan saya, ajaibnya ada pihak yang sudah membayar SPP saya. Padahal, seharusnya sayalah yang harus membayar dari uang cek yang kampus kirimkan. Pikir saya, mungkin kampus menganti sistem pembayaran atau mungkin kali ini Fulbright yang membayar. Ternyata, tiap awal bulan saya masih menerima cek untuk SPP. Nah, jadi cek ini harus dibayarkan untuk apa? Kadang terbersit dalam benak saya, "Ah, mending diam-diam saja, lumayan kan uangnya bisa dijadikan tabungan." Tapi nurani tidak bisa dikelabui. Ada uang yang bukan hak saya. Saya pun melaporkan hal ini ke pihak Fulbright. Saya jelaskan duduk permasalahannya secara rinci. Bahkan, saya sempat berbicara langsung dengan staf Fulbright yang mengunjungi kampus. Permasalahan tak kunjung usai. Korespondensi pun menjadi berlarut-larut sampai memakan waktu 10 bulan. Setelah penantian sekian panjang, barulah terlihat titik terang. Fulbright rupanya tidak bisa mengusut sumber permasalahan, karena birokrasi mereka pun panjang dan berbelit. Lagi-lagi, kampuslah biang keroknya. Karena (lagi-lagi) kesalahan administrasi, mereka memasukkan uang kepada akun kampus saya, padahal mereka pun mengirimkan cek. Akhirnya, mereka menarik kembali uangnya dan masalah pun beres. Ekspektasi saya akan birokrasi di negeri serba canggih ini rupanya terlalu tinggi. Kenyataannya, birokrasi di mana-mana tidak jauh beda. Panjang hierarkinya dan berbelit sehingga urusan sederhana bisa memakan waktu lama. Memang, kealfaan berada di belakang semua masalah ini tapi panjangnya birokrasi juga mempunyai andil sehingga masalah tidak bisa dipecahkan sejak dini. Kisah menarik saya lainnya: Pengemis Dilarang Mangkal di Depan Restoran: Peraturan Baru Tukang Sumbangan Ala Amrik Amerika: Negara Ada-Ada Saja Satu Dolar Seribu Rupiah? Tamu Tak Diundang di Negeri Sebrang Ada SIM Tembak di Amrik?!? Jadi Pemulung di Amrik Pipis di Negerinya Obama Cari Terasi Sampai ke Washington DC Ke Amrik Bermodalkan Mimpi? Bisa Dong! Shalat aja Kok Repot!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline