Lihat ke Halaman Asli

Amerika: Negara Ada-Ada Saja

Diperbarui: 26 Juni 2015   09:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Presiden Obama (sumber: http://vasanthseshadri.files.wordpress.com)

[caption id="" align="aligncenter" width="450" caption="Presiden Obama (sumber: http://vasanthseshadri.files.wordpress.com)"][/caption] Siapa orang yang tidak tahu Amerika Serikat. Sebuah negara adidaya dengan kekuatan ekonomi dan militer nomor wahid seantero jagad. Saking hebatnya, sumber daya-sumber daya ekonomi dan militernya menggurita di mana-mana, termasuk di negara kita. Contoh sederhananya perusahaan pendulang gunung emas dan tembaga terbesar di Papua, yang jelas-jelas milik AS. Katanya sih, sebagian kecil sahamnya milik pemerintah. Tapi ingat, sebagian kecil! Aspek kehidupan lain pun secara global AS kuasai. Misalnya, politik. 'Jual paksa' demokrasi ala AS ini sudah menyebar ke mana-mana. Bahkan, kalau ada yang tidak bersedia 'membeli', invasi tawaran terakhirnya. Contoh paling akhir dan masih hangat adalah Irak. Belum lagi dunia hiburan, industri perfilman AS menguasai dunia dengan Hollywoodnya. Hanya Bollywood yang bisa menandingi mereka dari segi produktifitas, bukan kualitas. [caption id="" align="alignright" width="225" caption="Arnold Schwarzenegger (sumber: http://upload.wikimedia.org)"]

Arnold Schwarzenegger (sumber: http://upload.wikimedia.org)

[/caption] Kehebatan-kehebatan di atas lah yang kemudian menjadikan AS sebagai tujuan utama mereka pengejar mimpi, mereka yang siap menguras keringat untuk memperbaiki nasib hidupnya. Itulah sebabnya mengapa negara Paman Sam ini kerap dinamai "The land of dreams." Banyak kisah sukses yang sering menjumpai telinga kita. Salah satunya kisah hidup Arnold Schwarzenegger. Aktor laga tersohor sedunia berkat aksinya di Conan, Commando, The Terminator, ternyata kelahiran Austria. Dia kabarnya sudah memimpikan hijrah ke Amerika sejak dari usia 10 tahun. Mimpinya terlaksana setelah beberapa puluh tahun kemudian dia menjadi aktor ternama dan bahkan menjadi Gubernur California dari 2003 sampai 2010. Semua inilah yang membuat saya bermimpi. Bukan ingin menjadi aktor laga tersohor sedunia ataupun menjadi politisi Amerika, tapi ingin merasakan hidup di negara yang menjadi tempat pengejar mimpi. Mimpi saya sederhana saja, ingin mengenyam pendidikan sampai strata tiga. Tentunya dengan beasiswa. Karena kalau tidak, saya hanya mimpi di siang bolong. Uang dari mana untuk membiayai mahalnya biaya pendidikan dan biaya hidup di Amerika. Mimpi saya menjelma menjadi realita pada tahun 2007. Tepatnya 20 Agustus 2007, saya meninggalkan kampung halaman untuk menimba ilmu di negerinya Obama. Perkenalan saya dengan budaya asing ini kerap menimbulkan masalah, mulai dari masalah kencing, shalat, uang, cek, makan, bahasa, buku, SIM, dan lain sebagainya. Sebagian sudah saya ungkap dalam tulisan-tulisan di Kompasiana sebelumnya. Kejutan budaya lainnya berkait dengan puspa ragamnya orang Amerika (baca: yang tinggal di Iowa karena saya belum pernah tinggal di belahan yang lainnya). Minggu pertama merasakan bangku kuliah di sini, saya sudah dibuat bingung oleh seorang teman. Suaranya terdengar seperti perempuan tapi penampilan seperti laki-laki. Ketika mengobrol masalah keluarga, dia sering menyebut "my wife". Bingung kan? Nah, ketika mengobrolkan dia dengan teman Amerika lain, dia menyebutnya "she". Dalam benak saya, kok "she" memiliki istri? Tidak ada dalam kamus saya waktu itu seorang perempuan bisa beristri. Tanpa disangka, ternyata dia itu seorang lesbi. Ketika bertemu dengan istrinya pun, dia menyebut teman saya "my wife." Terdengar lucu saja, keduanya sama-sama menyebut "my wife." Ada teman lain yang membuat saya geleng-geleng kepala. Dia adik kelas saya, beda dua tahun. Orangnya ganteng, atletis, ramah tapi sedikit pemalu. Kalau lagi musim sayuran, dia suka membua pengumuman di akun facebooknya agar siapa saja yang membutuh sayuran untuk datang ke tempatnya. Orangnya benar-benar baik. Pas saya cek profilnya di facebook, tertulis "in a relationship with ....". Iseng saya buka nama orang yang jadi "pacarnya itu". Eh, laki-laki juga. Rupanya, teman saya yang satu ini adalah gay. Tak pernah menyangka bisa berteman dan berdampingan dengan orang yang secara keyakinan (orientasi seksual) sangat bertolak belakang. Saya pun pernah berteman dengan orang asli Iowa, yang awalnya saya sangka kristiani. Dia bilang bahwa memang dia dibesarkan dalam lingkungan kristen, tapi sebenarnya dia tidak menganut agama apapun. Untungnya, dia masih percaya akan adanya Tuhan. Dengan kata lain, dia agnostik. Dia sempat menjelaskan alasannya memilih tidak berafiliasi. Salah satunya konflik atau perang antar agama yang menurutnya banyak memakan korban jiwa. Saya pernah menyampaikan pendapat saya mengenai hal itu. Tapi, dalam banyak waktu, saya suka menghindari perdebatan seputar isu agama, karena pasti sia-sia. Ternyata, ada juga orang percaya Tuhan, tapi tidak mempercayai institusi agama. Banyak juga orang Amerika sini yang memilih tidak mempunyai teman hidup. Beberapa kolega kerja, ketika saya curhat ikhwal repotnya mengurus bayi, malah berkata, "Ah saya tidak pernah berpikir ke arah sana." Padahal mereka sudah begitu mapan secara ekonomi. Dalam sebuah acara pelatihan budaya untuk staf universitas, saya diundang untuk menjadi salah seorang nara sumber. Dalam diskusi kelompok, setiap orang diminta untuk memperkenalkan diri. Saya sebutkan nama dan kebanggaan saya sebagai ayah baru. Ada beberapa orang yang nampak tak nyaman dengan hal itu karena mereka memilih tidak berkeluarga. Seorang ibu berkata, "Saya punya beberapa anjing dan kucing. Dan saya bahagia dengan mereka." Dia pun menyebutkan nama-nama hewan peliharaanya. Teman saya pernah menceritakan pengalaman uniknya ikhwal profesornya. Ketika dia dan istrinya bertandang ke tempat profesornya, dia sempat terheran-heran dengan keadaan di rumah profesornya itu. Profesornya memilih untuk tidak berkeluarga dan memelihara seekor kucing. Saking 'cintanya' kepada kucing peliharaanya itu, si kucing diberi kamar khusus dengan interior yang nampaknya wah, lebih bagus dari apartemennya dia. Ketika teman saya itu hendak memangku si kucing, si profesornya menyuruh dia membasuh tangannya dengan sabun, biar hiegienis. Sambil bersenyum, teman saya berkomentar, "Prof, I wish I were your cat." karena dia iri begitu luar biasanya perhatian dan fasilitas yang profesornya berikan kepada kucingnya. Banyak sekali kejanggalan atau mungkin bisa dibilang keunikan sebagian orang sini. Terbiasa dalam lingkungan homogen di kampung sana, saya banyak dibuat tercengang menyaksikan begitu beragamnya (jenis =) orang di Amerika sini. Memang, negara ini ada-ada saja. Kisah menarik saya lainnya: Satu Dolar Seribu Rupiah? Makanan Haram yang Pernah Aku Lumat Tamu Tak Diundang di Negeri Sebrang Ada SIM Tembak di Amrik?!? STMJ: Studi Terus Mabok Jalan Jadi Pemulung di Amrik Pipis di Negerinya Obama Cari Terasi Sampai ke Washington DC Bule, kok Ngomong Sunda? Ke Amrik Bermodalkan Mimpi? Bisa Dong! Shalat aja Kok Repot!!! Ada Alien di Rumahku: Kisah Nyata “Profesor apa Rocker?”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline