Lihat ke Halaman Asli

Ada SIM Tembak di Amrik?!?

Diperbarui: 26 Juni 2015   09:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1295294202296026425

[caption id="attachment_85219" align="aligncenter" width="661" caption="Gambar diunduh dari http://www.iowadot.gov"][/caption] Sudah rahasia umum bahwa SIM 'tembak' adalah menjadi bagian tak terpisahkan dalam proses pengajuan SIM (siapapun kapolda/kapolrinya =). Dengan membayar lebih dari tarif aktual, kita bisa mendapatkan 'kemewahan' yang luar biasa; SIM bisa langsung didapat tanpa harus pusing-pusing memikirkan tes tulis dan tes mengemudi. Uniknya, ketika mencoba untuk 'bersih dan jujur', prosedurnya kerap kali dipersulit. Terlebih, 'tawaran' untuk mengambil SIM tembak ini sudah disodorkan sedari pintu jaga. Mudah-mudahan semua ini sudah berangsur membaik. Ketika memutuskan untuk membeli kendaraan, belum terpikirkan sedikit pun proses pengajuan SIM di negara bagian Iowa ini. Waktu itu, dalam pikiran sederhana saya, "Pokoknya beli mobil dulu, urusan SIM belakangan." Hal ini memang dilatari oleh pengalaman masa silam ketika di Bandung, dimana saya bisa langsung lancar mengendarai motor setelah membeli motornya dulu. Sebelumnya, beberapa kali latihan bersama teman tidak pernah membuahkan hasil signifikan. Setelah mobil saya dapatkan, saya mulai mempelajari buku panduan. Aturan hukum lalu lintas pun saya baca secara perlahan. Sebagian saya coba hapalkan. Setelah cukup percaya diri, saya pun datang ke kantor departemen transportasi bersama istri. Setelah beres pemeriksaan berkas, petugas menyuruh kami untuk duduk di depan komputer dan menjawab sebilangan pertanyaan ikhwal lalu lintas. Alhamdulillah, kami lulus. Sejurus kemudian, surat izin sementara sudah kami pegang. Setelah beberapa kali latihan, saya mulai berani membawa kendaraan sendirian, walaupun awalnya harus melakukannya sebelum sebagian besar orang terbangun, karena jalan masih kosong. Akhirnya, tibalah saatnya mengambil tes mengemudi. Sebenarnya, waktu itu tidak ada niat untuk ikut tes karena saya datang ke kantor transportasi untuk menemani teman yang mau mengambil tes. Pikir saya, "Apa salahnya ikut agar tahu bagaimana prosedurnya?" Nah, ternyata, teman saya itu malah 'memaksa' saya untuk ikut tes juga. Dia bilang, "Ya, Mas, coba-coba saja, siapa tahu lulus. Toh mencoba tidak harus bayar." Inilah memang salah satu kelebihan sistem pemerolehan SIM di kota ini. Kita bisa mengambil tes sebanyak apapun secara gratis. Baru setelah kita dianggap lulus, kita mesti bayar. Saya pun mengisi semua formulir dan menunggu panggilan petugas. Jantung saya berdegup kencang ketika seorang petugas berseragam laiknya polisi memanggil "Eri Kurniawan". Rupanya, lumayan ramah juga ibu petugas ini. Dia bertanya kabar dan kesiapan saya ketika kita berjalan menuju kendaraan. Setelah mengecek kondisi fisik mobil, dia pun duduk di samping kanan saya. Dia menjelaskan bahwa saya harus menaati semua aturan lalu lintas. Intinya, kaau saya melakukan sesuatu yang berpotensi mendapatkan surat tilang polisi, maka saya otomatis gagal. Saya keluar dari tempat parkir dan mengikuti semua petunjuk si petugas. Saya diminta memutari jalanan Sycamore Mall yang ternyata banyak stop sign-nya. Speed limit-nya pun hanya 25 mil per jam. Jadi saya harus ekstra hati-hati karena lebih 1 mil saja otomatis gagal. Tanda-tanda kegagalan mulai terasa ketika saya disuruh melakukan manuver parkir paralel. Karena gugup dan mobil yang saya pakai mobil teman, ban belakang saya menabrak trotoar ketika mundur. Saya coba lagi beberapa kali tapi tetap gagal. Akhirnya, si petugas bilang, "Just go ahead." Konsentrasi pun mulai buyar karena saya pikir saya sudah gagal total. [caption id="attachment_85220" align="alignleft" width="300" caption="Iowa driver"]

1295294266822403445

[/caption] Ketika memasuki perempatan, saya berhenti sejenak, terus belok kiri. Ternyata, di perempatan itu ada stop sign yang mewajibkan pengendara berhenti total (selama 3-4 detik). Akhirnya, saya disuruh kembali ke tempat awal dan memarkir kendaraan. Saya sudah tahu bahwa saya pasti gagal karena parkir paralel tadi. Memang saya dinyatakan gagal. Namun bukan karena parkir paralel, tapi karena belok kiri tanpa berhenti total. Intinya sama saja. GAGAL! Beberapa hari kemudian, saya pun mencoba tes yang kedua kalinya. Kali ini, saya lebihpercaya diri karena sudah berlatih di lokasi ujian pertama beberapa kali. Parkir paralel pun rasanya sudah ahli. Seperti biasanya, petugas mengecek kondisi fisik kendaraan terutama lampu depan, signal dan klakson. Ketika dia melihat bumper depan, dia langsung bertanya, "Where is the license plate?" Dengan polosnya, saya menunjuk ke plat mobil yang saya pampang di atas dashboard. Dia pun berkata bahwa plat mobil harus terpasang dengan benar di tempatnya. Saya tidak bisa dites sebelum urusan plat beres. Aduh! Gagal lagi! Pada kesempatan ketiga, semuanya sudah disiapkan dengan rapih. Latihan sudah maksimal, plat pun sudah terpasang di tempatnya. Petugas pun mengangguk-angguk saja ketika memeriksa kondisi mobil, tanda setuju. Mobil pun saya nyalakan dan baru jalan 5 meter setelah belok kanan, si petugas bilang, "Slow down! Turn right!" Saya pun belok kanan kembali ke tempat parkir semula. Saya pun memarkir kendaraan dan petugas tadi menjelaskan bahwa saya gagal karena ketika belok kanan tidak menginjam rem secara total. Saya pun mengakui secara jujur bahwa saya tidak sadar akan aturan itu karena memang tidak ada stop sign. Rupanya, ketika melewati trotoar, hendak masuk ke jalan, kita diwajibkan berhenti total untuk mengamati keadaan. Baru setelah itu bisa jalan. Arrgghh, gagal lagi. Sejujurnya saya merasa frustasi karena selalu saja ada hal-hal yang nampaknya sepele yang membuat saya gagal. Terlebih, saya pun jadi merasa bodoh karena tidak bisa lulus tes dalam tiga kali tes. Semangat saya kembali terdongkrak ketika mendengar kisah seorang nenek tua bernama Cha Sa-soon di Korea Selatan yang baru lulus tes menyetir setelah 960 kali tes. Saya berpikir kalau saya menyerah berarti saya kalah sama nenek tua ini. Apa kata dunia?? :) Saya pun memberanikan diri untuk mengambil tes yang keempat. Sebelumnya saya sudah melatih diri beberapa kali dengan didampingi teman untuk mengawasi kalau-kalau ada marka jalan atau rambu yang tidak saya patuhi. Ternyata, rute tesnya diubah, beda dengan yang sebelumnya. Kali ini, saya disuruh memasuki highway (semacam tol) yang otomatis saya harus memacu kendaraan lebih dari 45 mil per jam. Untungnya, kepercayaan diri saya sudah terbangun dengan baik. Alhasil, ketika saya memarkir kendaraan, si petugas berucap, "Good job, Sir. You passed the test!" Saya pun larut dalam kebahagiaan sampai hampir lupa kembali ke kantor untuk mengambil SIM. Saya berandai-andai, kalau ada SIM tembak seperti di negara kita, saya tidak usah repot-repot mengambil tes sampai empat kali. Tes pun tidak usah saya ambil, tinggal datang, difoto, SIM langsung jadi. Praktis, cepat, mudah, tapi jahat, karena itu ilegal sifatnya. Bisa jadi sebagian kasus kecelakaan di jalan di tanah air disebabkan oleh begitu banyaknya orang yang sebenarnya tidak layak membawa kendaraan. Saya berandai (baca: berharap) mudah-mudahan proses pemerolehan SIM di Indonesia lambat laun bisa berubah seperti di kota Iowa. Tak ada calo, tes gratis, terus biayanya sebanding dengan sekali makan.  Semoga! Di Sini Tilang…Di Sana Tilang…Di Mana-mana Aku Ditilang Shalat Jumat Pun Harus Mengalah Madura Go International STMJ: Studi Terus Mabok Jalan Jadi Pemulung di Amrik Pipis di Negerinya Obama Cari Terasi Sampai ke Washington DC Bule, kok Ngomong Sunda? Ke Amrik Bermodalkan Mimpi? Bisa Dong! Shalat aja Kok Repot!!! Sunda? Yes! Jawa/Bali? No!!! “Profesor apa Rocker?”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline