Lihat ke Halaman Asli

"Malu Aku Jadi Orang Indonesia."

Diperbarui: 26 Juni 2015   09:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar diambil dari http://ashshoffaat.blogspot.com

[caption id="" align="alignleft" width="500" caption="Gambar diambil dari http://ashshoffaat.blogspot.com"][/caption] Suatu waktu, saya pernah dimintai tolong oleh teman Amerika untuk membantu mahasiswa baru dari Indonesia yang baru datang. Dia datang bersama orang tuanya dan untuk sementara tinggal di hotel dekat pusat kota. Teman saya itu meminta saya agar menjadi teman barunya dan memperkenalkan dia ke komunitas Indonesia yang ada di kota Iowa. Tanpa diminta pun, kalau ada orang Indonesia datang, saya pasti siap membantu, karena sebagai kelompok minoritas yang tinggal di negeri orang, pertemanan menjadi nomor satu. Apalagi berteman dengan yang sebangsa dan setanah air. Siapa lagi yang akan membantu kita manakala kita kesulitan kalau bukan teman? Saya kirim sutron (email) kepada dia, yang intinya perkenalan diri dan menawarkan bantuan jika dia membutuhkan. Satu hari, dua hari, tak ada balasan. Sampai akhirnya saya pun lupa akan sutron itu. Saya kembali teringatkan akan sutron itu ketika teman Amerika tadi menanyakan kabar dia. Saya jujur saja bilang bahwa dia tidak pernah membalas. Mungkin sibuk. Beberapa waktu kemudian salah satu tetangga Indonesia saya bilang bahwa dia bertemu dengan orang baru ini bersama orang tuanya. Orang tuanya bahkan menitipkan anaknya kepada beliau karena beliau dipandang salah satu 'senior' di kota ini. Semester pun bergulir dan seperti biasa urusan sekolah bertumpuk. Urusan dengan orang baru ini akhirnya terlupakan seiring waktu. Enam bulan kemudian, setelah perkuliahan hampir usai, teman sekantor saya tiba-tiba bilang, "Eri, I have an Indonesian student." Dia pun memperlihatkan daftar nama mahasiswanya dan menunjukkan nama belakang nama mahasiswa yang dia maksud. Ternyata, mahasiswa tersebut adalah orang baru yang tidak pernah membalas sutron saya. Teman saya bilang bahwa anak ini sering datang ke kantornya untuk konsultasi. Saya jadi bertanya-tanya kenapa dia tidak pernah menyapa. Saya pun semakin penasaran orangnya seperti apa. Masa sampai orang Indonesia tidak saya kenali. Atau masa sampai dia tidak mengenali saya. Tiba-tiba sosok dia pun muncul di samping kantor. Sejurus kemudian, teman saya (yang notabene dosennya) memanggilnya. Dia pun bertanya dulu untuk memastikan, "You are Indonesian, aren't you?" Dia pun, dengan sedikit bingung akan maksud dari pertanyaan itu, kemudian mengiyakannya. Teman saya pun menyebutkan kepada mahasiswanya itu bahwa saya juga orang Indonesia. Dengan ekspresi sedikit kaget, dia berkata, "Oh, really?" Karena teman saya ini ingin mendengar saya berkomunikasi dalam bahasa Indonesia, dia meminta si orang baru itu untuk berbicara dalam bahasa Indonesia. Anak baru itu bilang, "Let me try. 'Apa kabar'?" dengan pelafalan penuh aksen laiknya artis-artis yang baru beberapa saat di luar negeri. Kesal, dongkol, marah, semua bersatu memperhatikan tingkah polak anak baru yang seolah lupa akan 'kulitnya'. Setelah dia pergi, teman saya bertanya dengan sedikit keheranan. "Do Indonesians speak English on a daily basis?" Saya bisa memaklumi pertanyaan dia karena dia tidak menyangka bahwa anak itu tidak bisa berbahasa Indonesia. Saya jawab tidak dengan tegas, karena secara umum memang demikian. Sebenarnya dalam hati saya ingin bilang, "You know what? If he spoke English so well that he forgets his Indonesian, why should he take ESL classes?" Namun saya tak tega mengatakan itu. Lain waktu, ketika komunitas Indonesia sedang berkumpul, membakar sate sambil berbincang, tiba-tiba tema mengenai orang baru muncul ke permukaan. Ternyata, ada dua teman lain yang bertemu dengan dia dan mendapati pengalaman yang serupa. Saat itu, menurut penuturan mereka, kedua teman tadi sedang mengikuti acara orientasi International classroom journey, sebuah acara yang diprakarsai kantor urusan internasional di kampus universitas Iowa untuk memperkenalkan budaya internasional kepada siswa Amrik. Anak baru tadi rupanya menjadi salah satu relawan. Nah, pas ditanya negara mana yang akan diwakili, dia dengan arogannya berkata, "France." Sontak saja, staf kantor internasional jadi kaget dan bertanya kenapa. "Because I have a girlfriend from France." Kedua teman saya tadi yang menyaksikan hal ini dibuat eneg dengan perilaku si anak baru ini.  Baru saja beberapa bulan  merasakan udara asing Iowa, dia sudah lupa identitasnya. Mending kalau sikap arogansi (untuk tidak mau berbicara bahasa Indonesia) dia barengi dengan kompetensi bahasa Inggris yang mumpuni. Dalam kasus dia, dia masih harus mengambil mata kuliah ESL. Artinya, kemampuan bahasa Inggris dia belum memenuhi kemampuan minimal untuk bisa mengikuti perkuliahan di kampus secara normal. Satu pelajaran penting yang bisa kita petik dari cuplikan kisah 'teman'' baru kita ini adalah "jangan sampai jadi kacang yang lupa pada kulitnya." Bahwa betul kita sedang berada di negeri orang dan sepatutnya menggunakan bahasa yang dipakai di negeri itu tidak serta merta mengharuskan kita melupakan jati diri kita sebagai orang Indonesia, yang tentunya bisa berbahasa Indonesia. Banyak orang Indonesia yang sudah puluhan tahun hidup di negara bagian Iowa ini yang begitu fasih bahasa Inggrisnya dan tidak pernah melupakan bahasa Indonesianya. Tulisan menarik lainnya: Shalat Jumat Pun Harus Mengalah Madura Go International STMJ: Studi Terus Mabok Jalan Jadi Pemulung di Amrik Pipis di Negerinya Obama Cari Terasi Sampai ke Washington DC Bule, kok Ngomong Sunda? Ke Amrik Bermodalkan Mimpi? Bisa Dong! Shalat aja Kok Repot!!! Sunda? Yes! Jawa/Bali? No!!! Bangkrut Gara-Gara Buku

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline