Lihat ke Halaman Asli

Ke Amrik Bermodalkan Mimpi? Bisa Dong!

Diperbarui: 26 Juni 2015   09:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

12941815522036112177

Masa iya studi di Amrik bisa bermodalkan mimpi? Jawabannya, tentu saja. Saya contohnya. Saya asli orang kampung, ya sekitar setengah/tiga perempat jam perjalanan ke kota terdekat. Baru merasakan riuh rendahnya suasana urban pada 1996, ketika memutuskan hijrah ke kota Bandung setelah lulus SMP. Ya, tujuannya satu, untuk meneruskan sekolah. Ketika berangkat pun, saya harus diantar oleh keluarga, karena sejujurnya saya tidak berani bepergian jauh dari kampung halaman tanpa teman. Benar-benar kampungan memang. Setelah lulus SMK, saya meneruskan kuliah ke UPI (dulunya IKIP Bandung). Seperti biasa, sebagai anak baru, beraneka ragam kegiatan ospek harus dilalui. Mana ada pilihan waktu itu. Mulai dari ditampar, ditendang, dikerjai, sampai dicukur seperti model Fanta Orange (iklan yang lagi ngetren waktu itu) yang semrawut tak karuan. Alhasil, saya jadi botak setengah senti. Terlepas dari pengalaman yang cukup menyeramkan tapi berkesan, ada satu hal yang tidak akan bisa saya lupakan dari pengalaman Ospek. Saya bermimpi. Saya masih ingat, di antara sebilangan acara Ospek jurusan, ada acara perkenalan dengan jajaran dosen. Satu hal yang sudah lama saya tunggu karena penasaran ingin melihat langsung untuk pertama kalinya orang-orang yang akan mengajar/mendidik saya selama 4 tahun. Satu per satu mereka memperkenalkan diri. Mulai dari nama, asal, bidang kajian sampai ke pengalaman pendidikan. Saya baru sadar bahwa sebagian dosen-dosen yang sekarang sudah jadi 'orang', ternyata asalnya dari kampung juga, kuliah dengan kerap memakan nasi liwet sampai akhirnya pergi ke luar negeri untuk studi. Itulah awal dari mimpi saya. Saya bertekad dalam hati, kalau mereka bisa, kenapa saya tidak? Saya bermimpi suatu saat nanti, saya akan diberi kesempatan untuk pergi ke luar negeri. Impian saya waktu itu Amrik karena orang bilang Amrik "the land of dreams". Karenanya, saya catat dalam pikiran saya, siapa-siapa saja dosen yang bisa saya jadikan panutan untuk dimintai tips/tricks atau sebatas nasihat. Saya pilih dosen yang asalnya sama dengan saya, Garut. Maklum ikatan sektarian. Lagi-lagi, pikir saya, kata orang Garut lain bisa, kenapa saya tidak? Setelah perkuliahan dimulai, saya pun mencoba menghubungi dosen-dosen tersebut lewat sutron (email). Niatnya sekedar silaturahmi sekalian memperkenalkan diri. Ya kalaupun tidak dijawab, bisa dimaklumi mengingat kesibukan mereka yang luar biasa. Isinya pun sebatas menanyakan apa saja yang mereka lakukan untuk bisa sekolah di luar negeri. Di luar dugaan, semuanya menjawab dengan rinci. Saking senangnya, saya cetak untuk didokumentasikan. Dan, kemudian saya baca berulang-ulang. Seorang dosen mengatakan bahwa keberhasilannya tidak lepas dari do'a dan dukungan orang tuanya, makanya dia berpesan agar saya senantiasa meminta do'a orang tua dalam perbagai hal semisal ujian, dsbnya. Dia pun berpesan agar kemampuan bahasa Inggris saya ditingkatkan terus dengan sering membaca novel berbahasa Inggris, mendengarkan berita dalam bahasa Inggrisnya dan semisalnya. Pokoknya isi dari surat balasan tersebut merinci apa saja yang bisa saya persiapkan untuk mengejar mimpi. Saya pun mulai membuat 'peta mimpi'. Maksud utamanya agar semua mimpi yang ingin saya raih bisa terancang dengan baik dan kalau dituliskan, mimpi-mimpi tersebut semakin tervisualisasikan. Saya tempel peta mimpi itu di meja belajar saya, agar bisa senantiasa terlihat. Pengaruhnya luar biasa. Ketika motivasi turun, peta mimpi itu bisa jadi penyemangat. Reaksi teman-teman melihat peta itu pun beragam. Ada yang hanya senyum, ada yang mencibir skeptis. Ada pula yang penasaran dengan bertanya dan kemudian mengapresiasi. Saya acuk tak acuh dengan semua itu. Toh ini semua berurusan dengan hidup saya, bukan mereka. Satu per satu mimpi itu pun menjadi kenyataan. Bahkan luar biasanya, semuanya sesuai dengan kerangka waktu yang tercantum dalam peta tersebut. Termasuk di antaranya mimpi pergi ke luar negeri untuk studi. Di luar dugaan, bulan November 2006, saya mendapatkan surat penerimaan beasiswa dari dua instansi yang berbeda: Fulbright (Amerika) dan APS (Australia). Setelah berkonsultasi dengan orang tua dan teman, pilihannya jatuh ke Amerika. 21 Agustus 2007, saya menginjakkan kaki di bandara O'Hare, Chicago, AS. Sedih, capek, takjub dan bahagia semua menyelimuti saya. Saya sadar bahwa semua ini berawal dari mimpi yang dibarengi kerja keras dan tentu saja do'a dari orang tua. Jadi, jangan pernah takut untuk bermimpi. Tulisan menarik lainnya: Resolusi Literasi Pipis di Negerinya Obama I am a villager (read: wong ndeso) Where are You, Indonesian Linguists? Shalat aja Kok Repot!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline