Lihat ke Halaman Asli

Toleransi Berawal dari Hati yang Damai

Diperbarui: 26 Juni 2015   08:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Kebrutalan, kemarahan yang berapi-api, anarki..... begitu mudah tersulut. Apa yang menjadi awal dari semua itu? Apakah tekanan ekonomi, arogansi individu atau kelompok, tidak tegasnya para pemimpin, ataukah itu memang watak asli bangsa kita Indonesia?

Insiden demi insiden telah merenggut banyak korban (material dan immaterial), akan tetapi tetap juga kejadian yang sama terulang lagi. Apa sebenarnya yang terjadi di negeri tercinta ini? Kemana sifat-sifat luhur bangsa yang begitu menggema di seantero Nusantara sampai ke negara jiran, yang menunjukkan bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar? Menyedihkan... sekaligus miris melihat kenyataan peri kehidupan berbangsa dan bernegara yang carut marut.

Para tokoh dan pemimpin lebih banyak pandai berkomentar ibarat komentator acara pertandingan sepak bola yang jelas-jelas lebih pandai dari pemain bola itu sendiri. Apakah sempat terpikir dalam diri mereka untuk evaluasi diri, instropeksi jauh ke dalam sanubari untuk mendapatkan intuisi yang jernih agar tercipta ide-ide yang brilian demi kemakmuran bangsa Indonesia? Atau mungkin para pemimpin kita sudah lelah memikirkan rakyatnya karena tenaga untuk berpikir positif sudah terkuras lebih dulu untuk memikirkan diri sendiri dan kelompoknya.

Apalah artinya cita-cita bangsa sebagaimana tertuang dalam Preambul UUD'45 untuk menciptakan perdamaian abadi, sementara di negeri sendiri rasa damai itu seperti asap yang mengepul terus lenyap terbawa angin. Jadi kemana kita mencari rasa damai yang nyata? Terlalu mudah untuk menyandarkan harapan kepada para pemimpin agar rasa damai itu muncul secara nyata di antara keluarga besar bangsa Indonesia ini. Semuanya akhirnya kembali kepada kesadaran masing-masing individu untuk menciptakan kedamaian dalam diri sendiri yang selajutnya diamalkan dan ditularkan kepada yang lain. Kesadaran berbangsa dan bertanah air satu Indonesia. Jauhkan kepentingan individu maupun kelompok, lihatlah dengan realitas bahwa bangsa ini sedang terpuruk, berpikirlah yang lapang dan jernih untuk bangkit dari keterpurukan itu.

Jangan bicara toleransi bila masih menyimpan iri dan dengki dalam diri. Marilah bersikap rendah hati, melihat semua permasalahan dengan jernih, jauhkan segala kepentingan yang menjadikan masalah semakin melebar. Berbuatlah dengan hati, intropeksi.. intropeksi... dan selalu intropeksi sebelum melangkah untuk berbuat. Tanamlah benih kedamaian agar segala perbuatan menghasilkan kebaikan dan kebajikan. Mulailah bijaksana dengan diri sendiri sebelum belajar membuat kebijakan untuk yang lain. Semoga dengan demikian bangsa ini akan tumbuh dalam ketenangan, ketentraman, kedamaian, dan kebahagiaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline