Lihat ke Halaman Asli

Krisis Sastra dalam Sejarah Kesusastraan Indonesia Pasca Kemerdekaan

Diperbarui: 16 Juni 2022   22:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Sastra Indonesia pasca kemerdekaan mengalami banyak perubahan apalagi setelah proklamasi. Seperti yang ditunjukkan oleh beberapa penulis sudah terjadi tanda-tanda perubahan selama pendudukan Jepang, tetapi tidak segera terlihat karena tekanan dari pemerintahan Jepang. Proklamasi Kemerdekaan menciptakan suasana jiwa kreativitas yang merdeka dan bebas. Berkat kebebasan ini, kreativitas untuk menuangkan ide dan karya sastra telah muncul. Hal ini ditandai dengan munculnya berbagai penerbitan seperti Panca Raya, Panji Masyarakat, Genta, Basis, Pembangunan, Siasat, Nusantra, Gema Suasana, Mimbar, Pujangga Baru, dan Seniman.

Demikian pula para seniman seperti Chairil Anwar, Asrul Sani, dan Idras yang berkumpul untuk mencapai kemerdekaan dan menciptakan karya-karya penting yang melahirkan penyair-penyair baru dan generasi baru yang berbeda dari generasi sebelumnya. Mereka membentuk sebuah perkumpulan kebudayaan yang disebut Gelanggang Seniman Merdeka dan mengaku sebagai generasi Gelanggang. Namun, ternyata mengisi kemerdekaan tidak semudah kedengarannya. Penyimpangan yang berbeda menyebabkan krisis yang berbeda, krisis moral, krisis ekonomi, dan berbagai krisis lainnya. Hal ini diperparah dengan kontroversi antar kelompok yang melibatkan penulis dari aliran dan pandangan yang berbeda. Maka, pada masa inilah lahir Lembaga Kebudayaan Rakyat (Recla) yang mendukung realisme sosial, berbeda dengan generasi arena yang mendukung humanisme universal. Pada akhirnya, berbagai kontroversi ini membuat para penulis meninggalkan penerbitan karya-karya penting dalam satu, dan beberapa pengamat sastra mulai melihat situasi saat itu sebagai krisis sastra.

Pada periode 1953-1961, wafatnya seorang Chairil Anwar menyebabkan para sastrawan banyak yang kehilangan semangat dalam menulis sajak atau menghasilkan karya sastra lainnya, seperti Asrul Sani dan Rivai Apin yang sudah dianggap mampu dalam melanjutkan kepeloporan dari seorang Chairil Anwar. Setelah wafatnya Chairil Anwar, dalam lingkungan budaya Gelanggang Seniman Merdeka seakan-akan seperti kehilangan gairah. Tidak hanya itu, dalam pemerintahan pun mulai muncul bibit korupsi dan manipulasi untuk merusak masyarakat. Karena hal-hal tersebut muncul sebuah adanya anggapan krisis sastra.

Dalam simposium yang diselenggarakan di Jakarta, April 1952 tentang "Kesulitan-kesulitan Zaman Peralihan Sekarang" melontarkan istilah "Krisis Akhlak", "Krisis Ekonomi" dan berbagai krisis lainnya. Selanjutnya pada tahun 1953, simposium yang diadakan di Amsterdam tentang kesusastraan Indonesia membicarakan tentang "Impasse" dan "krisis sastra sebagai akibat gagalnya revolusi Indonesia". Pembicara dalam simposium itu antara lain yaitu Asrul Sani, Sutan Takdir Alisyahbana, Prof. Dr. Wertheim dan lain-lain. Terbitnya majalah Konfrontasi di pertengahan tahun 1954, menjadi bahan pembicaraan yang ramai dibahas tentang persoalan krisis. Sebab dalam halaman pertama majalah tersebut memuat esai Soedjatmoko yang berjudul "Mengapa Konfrontasi".

Soedjatmoko mengatakan dalam esainya tersebut bahwa sastra Indonesia mengalami krisis diakibatkan dari krisis kepemimpinan politik dan karena hanya cerpen kecil yang ditulis yaitu "berlingkar sekitar psikologisme perseorangan semata-mata", roman-roman besar tidak ada yang ditulis. Nugroho Notosusanto, S.M. Ardan, Boejong Saleh, dan sastrawan lain memberikan reaksi hebat terhadap karangan Soedjatmoko ini. Menurut mereka sastra Indonesia sedang hidup dalam keadaan subur, oleh karena itu mereka menyertai bukti yang sulit untuk dibantah dalam menolak adanya penamaan dari "Krisis Sastra". Begitu pula dalam simposium yang diadakan oleh Fakultas Sastra Universitas Indonesia pada tahun 1954, H.B. Jassin menandaskan prasaran yang berjudul "Kesusastraan Indonesia Modern tidak ada krisis" dengan menyertai bukti dari dokumentasi untuk menolak adanya krisis sastra ataupun impasse dalam sastra Indonesia.

Nugroho Notosusanto menunjukkan sebuah tulisan yang berjudul "Situasi 1954" kepada Ramadhan K.H dalam mencoba untuk mencari latar belakang dari timbulnya penamaan "Impasse sastra Indonesia" yang bagi dia tidak lebih dari sebuah "Mite" (dongengan belaka). Menurut Nugroho "Mite" berawal dari pesimisme orang tentang sesudah masa pengakuan kedaulatan. Pesimisme di pihak satu dikandung oleh mereka yang hidupnya lebih enak pada masa federal dan di pihak lain oleh mereka ketika hidupnya sulit di masa revolusi yang memiliki impian indah dan muluk tentang masa sesudah perang kolonial kemerdekaan. Namun Nugroho melihat adanya sebuah kemungkinan bahwa golongan "old cracks" pada periode 45 mengalami masa kejayaan padahal pada periode 50 mengalami kemunduran, mereka berpegang pada masa kejayaan yang sudah lampau itu dengan menjelekkan zaman ini karena sekarang banyak muncul tokoh-tokoh baru. Kemudian Sitor Situmorang menyebutkan dalam majalah Mimbar Indonesia (1955) yang berjudul "Krisis H.B Jassin" bahwa yang ada bukanlah krisis sastra melainkan krisis ukuran menilai sastra. Sitor Situmorang menyimpulkan bahwa krisis yang terjadi tersebut merupakan krisis yang ada dalam diri H.B Jassin sendiri karena ukurannya yang tidak matang.

Alasan yang ditemukan oleh mereka yang menuduh adanya krisis sastra adalah kurangnya jumlah buku yang terbit. Tulisan roman-roman karya Pramoedya Ananta Toer dalam tahun 1950-1953 ditolak oleh para penuduh itu dengan alasan karena karya-karya itu ditulis oleh Pramoedya didalam penjara sebelum tahun 1950.

Berdasarkan apa yang sudah dijelaskan akibat dari krisis tersebut berdampak pada krisis ekonomi yang kemudian timbullah krisis sastra dan muncullah perdebatan di periode ini. Banyaknya pemimpin yang korupsi sehingga kekurangan anggaran dalam menerbitkan buku-buku sehingga para sastrawan banyak yang tidak menulis tulisan roman besar tapi hanya menulis tulisan cerpen kecil yang waktu menciptakannya lebih singkat dan kebanyakan mereka menerbitkan karya-karyanya pada majalah sastra karena anggaran yang digunakan jauh lebih murah dan bisa dibeli oleh masyarakat-masyarakat kecil sehingga karya mereka bisa dinikmati oleh semua kalangan.

Daftar Pustaka:

Rosidi, Ajib. 1969. Ikhtisar Sejarah sastra Indonesia. Bandung: Bina Cipta.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline