Lihat ke Halaman Asli

erika avalokita

ibu rumah tangga

Reuni 212 dan Advent Pertama

Diperbarui: 2 Desember 2018   16:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumentasi pribadi

Hari ini Advent Pertama. Gereja penuh nuansa ungu dan sukacita. Seperti mengingatkan bahwa tiga minggu lagi kami merayakan Natal.
Keluar dari gereja tadi pagi, saya terpana. Ada suara khotbah di kejauhan. Dari masjid. Keras sekali. Saya mencari-cari arah suara. Rupanya suara dari masjid  sebelah mal di Jakarta Selatan. Pengajiankah ? Entahlah.

10 menit diam mendengarkan ceramahnya. Penasaran. Isinya soal Reuni 212 yang sedang berlangsung di Monas pagi ini. Beberapa bagian khotbah masjid itu mengecam reuni itu. Bla ..bla. Yang ada di kepala : Untuk apa dikecam ? Untuk apa nyinyir ? Mengecam sesama penghuni perahu yang sama...? Biarlah mereka bereuni. Berbuat sesuai keinginannya. Asal tak menabrak aturan yang disepakati.

 Saya yang sangat berbeda dan berada di perahu berbeda saja tidak ikut mengecam. Pendeta sama sekali tak menyinggung soal itu. Satu kalimatpun tidak. Gereja pagi itu sesak oleh umat. Reuni tidak menyurutkan antusiasme yang berlebih. Biasa saja. Tidak merasa lebih baik atau lebih rendah dari perahu besar itu

Kuncinya belajar. Belajar menerima perbedaan tidak di tataran mulut dan otak. Tapi tataran hati. Belajar membongkar paradigma-paradigma yang tumbuh di kepala kita soal perbedaan. Konsep yang keras dan salah mungkin saja tumbuh di kepala kita. Dengan hati kita belajar menerima keyakinan dan sikap yang berbeda.

Reuni 212 berlangsung kondusif. Tidak ada bentrok. Tidak ada pasukan yang harus keluarkan gas air mata. Semua berlangsung damai.

Dokumentasi pribadi

Pulang saya sempatkan sarapan di sebuah kedai makan . Franchise dari Amerika. Di  situ saya bertemu dengan orang bergamis putih. Nyata jika dari acara Reuni di Monas. Mereka makan dengan tenang. Tak ada sindirianSeperti itulah kita harus menyikapi berbedaan. Tanpa perlu kekhawatiran berlebihan. Tak perlu slogan dan teori yang tinggi-tinggi.  Yang diperlukan sikap dewasa dan rendah hati. Tak perlu harus memaksa orang lain sama.

Energy terlalu sayang untuk dikeluarkan untuk nyinyirin hal yang tak sama. Bangsa kita terlalu besar untuk mengecam pilihan yang berbeda.  Demi sebuah Pilpres semata. 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline