Lihat ke Halaman Asli

erika avalokita

ibu rumah tangga

Mencegah Ancaman Propaganda Radikalisme pada Siswa

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="" align="aligncenter" width="630" caption="sumber: cdn-2.tstatic.net"][/caption]

Wawasan nasional dan cinta tanah air merupakan dua hal wajib yang disampaikan dalam pengajaran di sekolah. Hal ini bertujuan untuk menanamkan sedini mungkin rasa bela negara yang kuat di dalam diri anak-anak. Berbagai perspektif terkait penanggulanan terorisme juga telah mulai diterapkan dengan cukup baik dalam pengajaran di sekolah. Meskioun begitu, ternyata masih ada peluang risiko masuknya propaganda terorisme kepada siswa, yakni melalui faktor eksternal, seperti kegiatan ekstra kurikuler dan komunikasi antara siswa dan guru di luar jam sekolah.

Sebagai contoh adalah mengenai adanya potensi penyusupan paham radikalisme di dalam ekstrakurikuler berbasis keagamaan. Penyusupan tersebut dapat dilakukan oleh pihak luar dan bahkan pihak guru atau warga sekolah terkait. Dari pihak luar, propaganda terorisme dapat menyusup melalui penyelenggaraan kajian kelompok, pelatihan agama, dan lain sebagainya. Semisal ketika sedang kencang-kencangnya seruan mengenai ajakan kembali ke sistem pemerintah khilafah, jauh sebelum ISIS muncul. Seruan tersebut disebut-sebut merupakan implementasi pemerintahan yang sesungguhnya, di mana diridhai oleh Allah SWT.

Melihat posisi mayoritas masyarakat Muslim di Indonesia, membuat seruan tersebut tampak seperti seruan yang menjanjikan jalan barokah untuk mendapatkan surga-Nya. Tidak heran jika kemudian bermunculan banyak sekali agenda kerja sama dengan ekstrakurikuler berbasis keagamaan untuk membahas isu khilafah. Bahkan sampai ada yang membuat pendeklrasian dukungan terhadap sistem khilafah.

Sudah jelas hal tersebut menyalahi aturan karena melawan bentuk negara dan konstitusi resmi Indonesia, di mana berdasarkan pada prinsip Pancasila dan UUD 1945. Selain itu, seruan mendukung sistem khilafah juga menafikan kenyataan bahwa Indonesia adalah negara multikultur, baik agama maupun budaya. Jika sistem khilafah dipaksakan di Indonesia, tentu akan merugikan kelompok lain di luar Muslim di negeri ini. Padahal kan Indonesia didirikan oleh semangat kebersamaan serta kerja sama oleh lintas masyarakat yang multikultur.

Bahkan ada pula potensi propaganda radikalisme disampaikan langsung oleh guru atau pihak internal lainnya di sekolah. Mungkin hal tersebut sulit disampaikan di dalam kelas, namun ketika di luar kelas, ada semacam kerenggangan pengawasan sehingga dimanfaatkan oleh oknum terkait untuk mencuci otak siswanya dengan ideologi radikal. Pernah ada kasus di Pakistan (saya lupa kapan pastinya) di mana seorang guru dikenal ramah dan bersahabat dengan banyak siswa. Tanpa disangka, ternyata si guru tersebut perlahan-perlahan mencuci otak siswanya dan menjadikannya sebagai pengantin teror.

Entah apakah hal-hal di atas berpotensi terjadi di dunia pendidikan Indonesia atau tidak, namun setidaknya dapat membuat kita, khususnya yang berurusan dengan institusi pendidikan, menjadi lebih waspada dalam mencegah masuknya propaganda radikalisme ke siswa. Selain itu, diperlukan juga pengawasan yang berkelanjutan mengenai kegiatan seluruh ekstrakurikuler di sekolah agar visi dan misinya berjalan selaras dengan tujuan pencerdasan bangsa yang diemban oleh sekolah. Salam damai!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline