Sebuah Puisi Esai Untuk Jiwa-jiwa Kecil Yang Menjerit Namun Dipaksa tetap Membisu oleh kenyataan yang menjadikan
suara-suara mereka tak memiliki arti apa-apa.
Pesta di Langit dan Rakyat yang Menjerit
Di langit yang penuh letupan warna warni
Kembang api bersahutan di pergantian tahun baru
Namun awan pun berarak seperti parade luka,
Negeri ini mendongak, meminta hujan tak bercampur air mata.
Di sudut-sudut kota, terdengar rintih tanpa suara,
Jeritan rakyat tercekik tanpa rantai, terluka tanpa senjata.
Pajak naik, seperti paku di dinding rapuh,
Menancap diam-diam, tak pernah diundang, tak pernah ditempuh.
Sepiring nasi yang dulu cukup untuk sepagi,
Kini tinggal separuh, disertai gulai harapan yang mati.
Kenaikan itu datang seperti hujan batu di musim kemarau,
Menghantam padi di sawah, menenggelamkan nyawa di bawah bayang pisau.
Harga-harga menari di atas kepala,
Sementara upah hanya langkah tertatih tanpa hala.
Petani di ladang, menggenggam cangkul seperti menggenggam duri,
Tiap butir keringatnya, dihitung, dirampas tanpa peduli.
Pedagang di pasar, menatap kosong lapak yang redup,
Menganyam mimpi dari sobekan kenyataan yang kian surut.
"Negeri ini milik siapa?" suara samar terdengar lirih,
Milik mereka yang kenyang, atau kami yang perih?
Pajak mengalir bagai sungai deras ke muara kuasa,
Namun di hilir, rakyat hanya meneguk ampas derita.
Apa artinya kerja keras,
Jika peluh hanya menjadi umpan bagi kerakusan tak terbalas?
Apa artinya rumah sederhana,
Jika atapnya harus dijual untuk membayar kewajiban negara?
Di kursi megah, keputusan ditulis dengan tinta emas,
Namun tinta itu tak mengenal wajah kami yang lelah dan culas.
Apa arti janji keadilan,
Jika beban selalu memihak si lemah yang dibiarkan bertahan?
Jika keadilan adalah timbangan,
Mengapa beban selalu jatuh di pundak si miskin yang kepayahan?
Bukankah negara adalah ibu yang menyusui anaknya?
Bukan serigala yang memangsa darah dagingnya.
Mengapa si kecil selalu dipinggirkan seperti anak tiri yang bisu?
Bukankah pajak itu darah rakyat?
Mengalir untuk menyuburkan tanah, bukan untuk diserap tanpa berkat?
Bukankah pajak itu membangun?
Bukan menghancurkan mereka yang menjadi pondasi daratan.
Kami hanya ingin berdiri,
Dengan kepala tegak di negeri sendiri.
Bukan sebagai beban,
Tapi sebagai jiwa, yang layak dihargai dalam kehidupan.
Bandung, 30 Desember 2024
Ririe Aiko