Lihat ke Halaman Asli

Ririe aiko

Penulis, Pengajar dan Ghost Writer

Bandung, Hujan dan Secangkir Bandrek Hangat

Diperbarui: 26 November 2024   07:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber : galeripribadi




Langit Bandung di akhir tahun selalu memiliki cerita. Awan kelabu menggantung rendah, membawa hujan yang datang tiba-tiba---lembut namun seringkali tanpa jeda. Udara dingin menyelinap di sela-sela kulit, membuat keinginan untuk menikmati sesuatu yang hangat semakin tak terbendung. 

Beberapa hari terakhir, cuaca seperti ini membuatku rindu pada masa-masa sederhana, di mana secangkir bandrek hangat dan sepiring surabi menjadi pelipur lara di tengah derasnya hujan.

Hari itu, aku memutuskan untuk melipir ke sebuah tempat yang sudah lama tak kukunjungi Warung Setiabudhi. Terletak di Jl. Setiabudhi No. 175, tempat ini dahulu adalah primadona bagi kami, generasi muda yang mencari kehangatan dalam kesederhanaan.

 Warung bergaya etnik khas Sunda ini menyajikan aneka menu tradisional---surabi, bandrek, bakso kampung, hingga batagor. Namun, bagiku, kombinasi surabi dan bandrek selalu menjadi pilihan utama, apalagi di bawah langit Bandung yang saat ini diguyur hujan.

Begitu sampai, aku disambut dengan aroma kayu yang khas dari bangunan sederhana itu. Meja-meja kayu tua masih tertata rapi, seperti memanggil kenangan lama untuk kembali hadir. 

Kursi-kursi yang sedikit berderit setiap kali digeser justru terasa hangat, membawa rasa akrab yang tidak pernah ditemukan di kafe-kafe modern dengan sofa empuk dan musik elektronik yang bergema.  

Aku memesan secangkir bandrek hangat, sepiring surabi chicken mayo, dan tentu saja, surabi oncom, favoritku sejak dulu. Sambil menunggu, pikiranku melayang ke masa lalu. Dulu, tempat ini adalah pilihan utama untuk nongkrong. Meja-meja penuh dengan suara tawa, candaan, dan cerita. 

Kami saling mencicipi pesanan satu sama lain, berbagi rasa, dan mengukir kenangan. Namun, segalanya berubah. Kini, Warung Setiabudhi tampak lebih sepi. 

Tempat-tempat seperti ini perlahan kehilangan pesonanya di mata generasi baru yang lebih memilih kafe modern dengan fasilitas Wi-Fi, cake kekinian, dan suasana estetik untuk selfie. Teman-teman yang dulu berbicara penuh semangat kini lebih sering diam, sibuk dengan gadget masing-masing. Keakraban yang dulu begitu nyata kini terserap dalam layar-layar kecil di tangan mereka.  

Lamunanku terhenti ketika pesanan tiba. Secangkir bandrek mengepul di atas meja, menguarkan aroma jahe dan gula aren yang khas. Aku menyeruputnya perlahan. Hangatnya meresap hingga ke tenggorokan, memberikan sensasi nyaman yang tak tergantikan. 

Bandrek ini menjadi pengingat bahwa kehangatan bisa ditemukan dalam hal-hal yang sederhana.  Kemudian, aku mencicipi surabi oncom. 

Rasa pedas dan gurihnya membanjiri lidahku, membawa kenangan masa lalu kembali hidup. Surabi ini adalah Priangan dalam bentuk kecil sederhana, hangat, dan penuh rasa. Di sela-sela gigitan, hujan semakin deras. Rintik-rintiknya memukul atap dengan ritme yang seolah berharmoni dengan nostalgia di kepalaku.  

Surabi chicken mayo menjadi pilihan berikutnya. Berbeda dengan surabi oncom yang tradisional, surabi ini lebih modern dengan rasa creamy dan gurih yang lembut. Kombinasi tekstur dan rasa yang harmonis membuatnya cocok dinikmati di tengah suasana hujan yang menggigilkan.  

sumber : galeri pribadi

Saat itu, aku menyadari bahwa meski zaman telah berubah, ada keindahan yang tetap abadi. Kehangatan bandrek, rasa surabi, dan suara hujan yang menenangkan adalah hal-hal yang tak akan pernah tergerus oleh waktu.  

Aku memandang ke sekeliling warung itu sekali lagi. Meski kini tak seramai dulu, tempat ini masih memiliki jiwa yang sama, tempat bagi mereka yang mencari kenyamanan di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern. Aku berharap, di tengah dominasi kafe-kafe modern, Warung Setiabudhi dan tempat-tempat serupa tetap bertahan sebagai penjaga kenangan dan rasa tradisional.  

Hujan pun perlahan reda, meninggalkan genangan di jalanan yang memantulkan cahaya lampu kota. Aku selesai dengan makananku, tetapi hangatnya tetap tinggal di tubuh dan hatiku.  

"Bandung, dengan segala kesederhanaannya, sekali lagi mengajarkanku bahwa kebahagiaan tidak selalu datang dari hal besar. Kadang, ia tersembunyi dalam secangkir bandrek hangat dan sepiring surabi, ditemani hujan yang setia menemani."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline