Lihat ke Halaman Asli

Ririe aiko

Penulis, Pengajar dan Ghost Writer

Aku Ingin Mencintaimu dengan Sederhana, Bisakah Menikah di Tengah Keterbatasan?

Diperbarui: 24 November 2024   11:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber : bingimage.com AI

Kalimat "Aku ingin mencintaimu dengan sederhana" dari puisi legendaris Sapardi Djoko Damono sering kali memunculkan harapan dan romantisme dalam hati banyak orang. Namun, di tengah realita zaman sekarang, mungkinkah makna "sederhana" itu masih relevan? Apakah cinta yang sederhana masih bisa menjadi dasar dalam membangun hubungan, terutama saat melangkah ke jenjang pernikahan? Pertanyaan ini mungkin klise, tapi tetap mengusik di tengah kondisi sosial yang semakin rumit.  

Realita Cinta di Zaman Modern  

Kalau kita bicara tentang cinta dan pernikahan, sering kali kita mendengar cerita romantis tentang pasangan yang "berjuang bersama dari nol." Klise ini begitu populer dalam novel, film, atau drama, tapi bagaimana dengan realitanya? Apakah pasangan masa kini benar-benar siap menjalani kehidupan yang sederhana dan berjuang bersama?  

Faktanya, banyak orang merasa terjebak dalam ekspektasi sosial dan ekonomi yang besar. Pernikahan tidak lagi sekadar janji suci antara dua insan, tapi juga sebuah perayaan megah yang penuh tekanan. Mulai dari cetak undangan mewah, wedding dress impian yang harganya setara dengan uang muka rumah, hingga resepsi dengan ratusan tamu. Semua itu membuat makna "sederhana" menjadi kabur, bahkan nyaris hilang.  Di tengah semua tuntutan itu, sulit membayangkan ada pasangan yang benar-benar bisa mencintai dengan sederhana. Belum menikah saja, sudah dihantui angka-angka besar dalam tabungan. Bukankah ini menggelikan? Pernikahan, yang seharusnya menjadi awal kehidupan baru, justru menjadi sumber stres sebelum dimulai.  

Cinta atau Kalkulasi Ekonomi?  

Mungkin terdengar sinis, tapi mari kita jujur: cinta zaman sekarang tidak lagi sekadar urusan hati. Kemapanan finansial sering kali menjadi prasyarat untuk melangkah lebih jauh. Sebagian orang mungkin menganggap ini wajar, karena hidup memang membutuhkan uang. Namun, ketika cinta lebih sering diukur dari stabilitas dompet daripada kualitas hubungan, apakah kita masih bisa menyebutnya cinta?  Kenyataannya, banyak pasangan muda harus berhadapan dengan realita ini. Ketika berbicara tentang pernikahan, topik seperti biaya rumah tangga, cicilan, dan pendidikan anak kerap mendominasi pembicaraan. Bukan berarti ini salah, tapi bukankah cinta seharusnya dimulai dengan sesuatu yang lebih sederhana?  

Sapardi berbicara tentang cinta yang tulus, tanpa pretensi, tanpa kepalsuan. Tapi di zaman sekarang, cinta yang seperti itu rasanya sulit ditemukan. Bukan karena manusia kehilangan kemampuan untuk mencintai, tapi karena dunia tempat kita hidup sudah berubah.  

Apakah "Sederhana" Masih Mungkin?  

Apakah mungkin mencintai seseorang dengan sederhana? Jawabannya mungkin ya, tapi hanya jika kita bisa mendefinisikan ulang apa itu "sederhana."  Sederhana bukan berarti hidup tanpa uang sama sekali, melainkan hidup dengan keikhlasan untuk menerima kondisi apa adanya. Sederhana berarti membangun hubungan atas dasar pengertian, bukan gengsi. Dalam konteks pernikahan, sederhana bukan berarti menikah tanpa pesta sama sekali, tapi menikah dengan cara yang sesuai kemampuan, tanpa memaksakan diri hanya demi terlihat "wah" di mata orang lain.  

Sayangnya, pola pikir ini masih sulit diterapkan. Media sosial, dengan segala glamornya, ikut memperburuk keadaan. Postingan tentang pernikahan mewah sering kali menjadi tolak ukur keberhasilan, seolah-olah nilai cinta bisa diukur dari jumlah tamu atau dekorasi pesta. Padahal, yang seharusnya menjadi fokus adalah kehidupan setelah pesta itu selesai.  

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline